Mega, Haul, dan Wayang Kulit
Kepolisian Yogyakarta membatalkan izin pentas wayang kulit menyambut syukuran keluarga Acun Hadiwijoyo karena Megawati akan hadir. Hak pribadi Mega dipersempit?
KEHIDUPAN Megawati, seperti pernah dilukiskan Bung Karno dalam bukunya, Penyambung Lidah Rakyat, akan mengalami cobaan dan gejolak. Ia tiga kali menikah, sekolahnya tidak selesai, dan kini hak-haknya pun banyak yang dijegal. Baik haknya sebagai Ketua Umum PDI hasil Musyawarah Nasional PDI 1993 maupun hak-hak pribadi lainnya.
Penderitaan yang dialami Megawati, 51 tahun, rupanya tak urung berhenti. Sabtu akhir pekan lalu, 21 Juni, ia kembali kehilangan hak pribadinya. Izin pergelaran wayang kulit dalam rangka hajatan syukuran sebuah keluarga di Yogyakarta dicabut. Penyebabnya sepele: Megawati akan hadir pada acara wayang kulit itu. Padahal, kedatangan putri Bung Karno tersebut dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan sebagai Ketua Umum DPP PDI hasil Musyawarah Nasional PDI 1993.
Tamu undangan dan penonton yang sudah datang di Ndalem Notoprajan,Yogyakarta, pada Sabtu malam lalu itu pun kecewa. Kekecewaan juga dirasakan Dalang Ki Samdani Hardono dan para krunya, serta tentu saja tuan rumah, Acun Hadiwijoyo.
Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dalam acara syukuran keluarga tersebut. Tidak ada publikasi khusus. Bahkan, ketika diumumkan pembatalan acara pada pukul 20.45 oleh wakil keluarga, Totok Ispurwanto, tamu undangan dan penonton baru beberapa gelintir. Tapi, di luar tempat itu, aparat keamanan sudah berjaga-jaga. "Karena satu dan lain hal, acara wayang kulit dalam rangka syukuran malam ini dibatalkan," kata Totok mengumumkan.
Ndalem Notoprajan memang sudah biasa dijadikan tempat kegiatan pentas kesenian atau budaya. Dengan demikian, rencana acara malam itu tidak termasuk istimewa. Acara menjadi terasa istimewa justru dengan kehadiran petugas kepolisian sejak sore harinya. Aparat dari Polresta Yogyakarta sudah bertemu dengan tuan rumah, Acun. Mereka mengadakan negosiasi tentang kelanjutan acara itu.
Jika biasanya negosiasi berkutat soal lakon yang akan digelar, malam itu justru tentang tamu yang bakal hadir. Tamu dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri. Saat negosiasi berjalan sebenarnya izin acara syukuran itu sudah dikantungi Acun. Izin tertulis dari Polresta Yogyakarta juga sudah turun siang harinya.
Acun berkeras agar acara keluarga sebagai rasa syukur atau keberhasilan kedua anaknya yang naik kelas itu tetap dilangsungkan. Rencananya, wayang kulit itu akan mengambil lakon Srikandi Winisuda. "Sebagai umat beragama, kami kemudian mengadakan syukuran. Karena acara ini acara syukuran, kami tidak membatasi jumlah pengunjung. Pokoknya, terbuka dan gratis. Secara kebetulan, saya kenal dekat dengan Bu Mega dan siang itu ia sedang berada di Yogyakarta, maka langsung saja saya undang. Ternyata beliau bersedia hadir. Itulah ceritanya mengapa Bu Mega akan datang," kisah Acun ketika ditemui D&R di rumahnya, Sabtu pekan lalu itu.
* Hotel Dijaga
Karena larangan tersebut, Mega yang sudah keburu lapor keluar dari hotel terpaksa hanya berputar-putar di dalam Kota Yogya. Putri Presiden Pertama Republik Indonesia itu tak bisa sampai ke Ndalem Notoprajan karena seluruh jalan menuju ke sana sudah ditutup. "Saya kasihan kepada Bu Mega, kok, nasibnya bisa seperti itu," ucap Acun.
Kedatangan Mega di Yogya sendiri dalam rangkaian perjalanan pulang dari makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, sehari sebelumnya. Ia sempat mengadakan pertemuan tertutup dengan pengurus DPD PDI Perjuangan Yogya dan simpatisan Pendukung Setia Ibu Megawati Yogya di rumah Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang Ketua DPP PDI. Waktu itu tidak banyak yang tahu kehadirannya sehingga tidak ada penyambutan khusus. Tapi, ketika aparat keamanan mencium kehadirannya, tampak jelas "perlakuan khusus" yang diberikan kepada pemimpin PDI yang bisa memerintahkan jutaan anak buahnya untuk tak berkampanye itu. Di sekitar Hotel Aquilla yang dikabarkan untuk menginap Mega terlihat aparat keamanan berjaga-jaga.
Perlakuan semacam itulah yang membuat Megawati mengucapkan unek-uneknya di hadapan ribuan massa yang menghadiri haul ke-27 Bung Karno di makamnya di Blitar. Semula, ibu dari tiga anak itu enggan berbicara. Adik-adik wanitanyalah, Rahmawati dan Sukmawati, yang mengisi acara. Rahma, Ketua Panitia, menjelaskan soal Soekarno dan kondisi Indonesia saat ini, sedangkan Sukma menyambungnya dengan sebuah puisi Kepada Bung Karno.
Namun, menjelang acara haul itu berakhir, pukul 21.48, sebagian massa yang terdiri dari anak muda terus mengelu-elukan "Hidup Mega" dan tak akan bubar sebelum Mega berbicara. Haul tahun ini--yang dihadiri keluarga Bung Karno, tokoh-tokoh PDI, dan ribuan pengunjung yang lebih banyak dibanding tahun-tahun lalu--adalah haul pertama Mega setelah Peristiwa 27 Juli, yang melambungkan namanya di mata para simpatisan PDI.
Akhirnya, Megawati menerima permintaan massanya itu dengan berpidato selama 10 menit. "Saya ngomong sedikit. Sebetulnya saya tahu, biasanya kalau saya pergi ke mana saja, itu diikuti oleh mereka, petugas, yang mungkin mencatat kata-kata saya. Maunya, kalau bisa, mulut saya yang satu ini diplester. Tuhan yang Mahatahu, Mahamengetahui, atas mulut yang kecil ini. Yang Mahakuasa bilang, berbicaralah Mega seperti namamu, Megawati," tutur istri Taufik Kiemas itu.
M.J., Budi Nugroho, Abdul Manan (Surabaya), dan Prasetya (Yogya)
D&R, Edisi 970628-045/Hal. 31 Rubrik Peristiwa & Analisa
KEHIDUPAN Megawati, seperti pernah dilukiskan Bung Karno dalam bukunya, Penyambung Lidah Rakyat, akan mengalami cobaan dan gejolak. Ia tiga kali menikah, sekolahnya tidak selesai, dan kini hak-haknya pun banyak yang dijegal. Baik haknya sebagai Ketua Umum PDI hasil Musyawarah Nasional PDI 1993 maupun hak-hak pribadi lainnya.
Penderitaan yang dialami Megawati, 51 tahun, rupanya tak urung berhenti. Sabtu akhir pekan lalu, 21 Juni, ia kembali kehilangan hak pribadinya. Izin pergelaran wayang kulit dalam rangka hajatan syukuran sebuah keluarga di Yogyakarta dicabut. Penyebabnya sepele: Megawati akan hadir pada acara wayang kulit itu. Padahal, kedatangan putri Bung Karno tersebut dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan sebagai Ketua Umum DPP PDI hasil Musyawarah Nasional PDI 1993.
Tamu undangan dan penonton yang sudah datang di Ndalem Notoprajan,Yogyakarta, pada Sabtu malam lalu itu pun kecewa. Kekecewaan juga dirasakan Dalang Ki Samdani Hardono dan para krunya, serta tentu saja tuan rumah, Acun Hadiwijoyo.
Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dalam acara syukuran keluarga tersebut. Tidak ada publikasi khusus. Bahkan, ketika diumumkan pembatalan acara pada pukul 20.45 oleh wakil keluarga, Totok Ispurwanto, tamu undangan dan penonton baru beberapa gelintir. Tapi, di luar tempat itu, aparat keamanan sudah berjaga-jaga. "Karena satu dan lain hal, acara wayang kulit dalam rangka syukuran malam ini dibatalkan," kata Totok mengumumkan.
Ndalem Notoprajan memang sudah biasa dijadikan tempat kegiatan pentas kesenian atau budaya. Dengan demikian, rencana acara malam itu tidak termasuk istimewa. Acara menjadi terasa istimewa justru dengan kehadiran petugas kepolisian sejak sore harinya. Aparat dari Polresta Yogyakarta sudah bertemu dengan tuan rumah, Acun. Mereka mengadakan negosiasi tentang kelanjutan acara itu.
Jika biasanya negosiasi berkutat soal lakon yang akan digelar, malam itu justru tentang tamu yang bakal hadir. Tamu dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri. Saat negosiasi berjalan sebenarnya izin acara syukuran itu sudah dikantungi Acun. Izin tertulis dari Polresta Yogyakarta juga sudah turun siang harinya.
Acun berkeras agar acara keluarga sebagai rasa syukur atau keberhasilan kedua anaknya yang naik kelas itu tetap dilangsungkan. Rencananya, wayang kulit itu akan mengambil lakon Srikandi Winisuda. "Sebagai umat beragama, kami kemudian mengadakan syukuran. Karena acara ini acara syukuran, kami tidak membatasi jumlah pengunjung. Pokoknya, terbuka dan gratis. Secara kebetulan, saya kenal dekat dengan Bu Mega dan siang itu ia sedang berada di Yogyakarta, maka langsung saja saya undang. Ternyata beliau bersedia hadir. Itulah ceritanya mengapa Bu Mega akan datang," kisah Acun ketika ditemui D&R di rumahnya, Sabtu pekan lalu itu.
* Hotel Dijaga
Karena larangan tersebut, Mega yang sudah keburu lapor keluar dari hotel terpaksa hanya berputar-putar di dalam Kota Yogya. Putri Presiden Pertama Republik Indonesia itu tak bisa sampai ke Ndalem Notoprajan karena seluruh jalan menuju ke sana sudah ditutup. "Saya kasihan kepada Bu Mega, kok, nasibnya bisa seperti itu," ucap Acun.
Kedatangan Mega di Yogya sendiri dalam rangkaian perjalanan pulang dari makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, sehari sebelumnya. Ia sempat mengadakan pertemuan tertutup dengan pengurus DPD PDI Perjuangan Yogya dan simpatisan Pendukung Setia Ibu Megawati Yogya di rumah Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang Ketua DPP PDI. Waktu itu tidak banyak yang tahu kehadirannya sehingga tidak ada penyambutan khusus. Tapi, ketika aparat keamanan mencium kehadirannya, tampak jelas "perlakuan khusus" yang diberikan kepada pemimpin PDI yang bisa memerintahkan jutaan anak buahnya untuk tak berkampanye itu. Di sekitar Hotel Aquilla yang dikabarkan untuk menginap Mega terlihat aparat keamanan berjaga-jaga.
Perlakuan semacam itulah yang membuat Megawati mengucapkan unek-uneknya di hadapan ribuan massa yang menghadiri haul ke-27 Bung Karno di makamnya di Blitar. Semula, ibu dari tiga anak itu enggan berbicara. Adik-adik wanitanyalah, Rahmawati dan Sukmawati, yang mengisi acara. Rahma, Ketua Panitia, menjelaskan soal Soekarno dan kondisi Indonesia saat ini, sedangkan Sukma menyambungnya dengan sebuah puisi Kepada Bung Karno.
Namun, menjelang acara haul itu berakhir, pukul 21.48, sebagian massa yang terdiri dari anak muda terus mengelu-elukan "Hidup Mega" dan tak akan bubar sebelum Mega berbicara. Haul tahun ini--yang dihadiri keluarga Bung Karno, tokoh-tokoh PDI, dan ribuan pengunjung yang lebih banyak dibanding tahun-tahun lalu--adalah haul pertama Mega setelah Peristiwa 27 Juli, yang melambungkan namanya di mata para simpatisan PDI.
Akhirnya, Megawati menerima permintaan massanya itu dengan berpidato selama 10 menit. "Saya ngomong sedikit. Sebetulnya saya tahu, biasanya kalau saya pergi ke mana saja, itu diikuti oleh mereka, petugas, yang mungkin mencatat kata-kata saya. Maunya, kalau bisa, mulut saya yang satu ini diplester. Tuhan yang Mahatahu, Mahamengetahui, atas mulut yang kecil ini. Yang Mahakuasa bilang, berbicaralah Mega seperti namamu, Megawati," tutur istri Taufik Kiemas itu.
M.J., Budi Nugroho, Abdul Manan (Surabaya), dan Prasetya (Yogya)
D&R, Edisi 970628-045/Hal. 31 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments