Kado Bupati Menjelang Pemilu
PTUN menyalahkan Bupati Jombang yang mengosongkan rumah warganya secara paksa. Sayangnya, UU Peratun membatasi ganti rugi maksimal cuma Rp 5 juta.
INI, barangkali, peringatan buat bupati agar tak semena-mena terhadap warga. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya pada Rabu pekan lalu, 16 April, mempersalahkan keputusan Bupati Jombang, Jawa Timur, Soewotohadi, yang melakukan pengosongan rumah seorang warganya, Ny. Tjioe Mei Tjien.
Menurut majelis hakim yang dipimpin Iskandar, keputusan bupati itu terhitung perbuatan sewenang-wenang. "Bupati tak berwewenang mengosongkan rumah itu. Sebab, penghuninya masih terikat hubungan sewa-menyewa," ujar Hakim Iskandar.
Berdasarkan itu, majelis hakim juga menghukum bupati untuk membayar ganti rugi Rp 5 juta--ganti rugi maksimal yang ditetapkan UU Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) No. 5 Tahun 1986--kepada Tjien. Dan, bila Tjien merasa ganti rugi itu terlalu kecil, majelis menyarankan agar Tjien menuntut lagi kerugiannya ke pengadilan negeri (perdata).
Tjien, yang kini terpaksa tinggal menumpang di rumah salah seorang tetangganya, tentu saja menyambut gembira putusan itu. Sebab, deritanya akibat pengosongan rumah itu secara paksa pada 5 Desember silam sulit untuk dilupakan.
Sebetulnya, Tjien telah menempati rumah itu sejak lama. Dia menyewa rumah di Jalan Wahid Hasyim 26, Jombang, itu setidaknya sejak tahun 1973. Hubungan sewa-menyewanya berlaku sampai tahun 1999.
Dulunya, rumah itu milik seorang warga Belanda bernama Albertine Cornelia Mariane Tan Raa. Belakangan, pada 2 Juli 1991, Pengadilan Negeri Jombang menetapkan Mariane dalam keadaan tak hadir (afwezigheid) karena telah meninggalkan Indonesia dan tiada kabarnya.
Tiba-tiba, pada 4 November 1996, Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat II (Kabupaten) Jombang mengeluarkan keputusan agar rumah yang dihuni Tjien segera dikosongkan. Menurut bupati, tanah rumah itu telah dibeli pemda. Kabarnya, tanah itu bakal digunakan untuk lokasi rumah-toko milik swasta.
Belum sempat Tjien mengajukan upaya hukum terhadap keputusan pengosongan itu, sebulan kemudian pihak pemda benar-benar mengosongkan rumah tersebut secara paksa. Tjien melalui kuasa hukumnya, Lydia Wongsonegoro, mencoba mencegah aksi pengosongan itu, dengan menyatakan tindakan tersebut tidak berdasarkan hukum.
Toh, para petugas tak mengindahkan pembelaan itu. Mereka tetap mengeluarkan barang-barang milik Tjien dari rumah tersebut. Akhirnya, lewat Lydia, Tjien menggugat Bupati Jombang ke PTUN Surabaya. Sebab, "Bupati bukannya mengayomi warganya, malah sebaliknya, menunjukkan arogansi kekuasaan," ujar Lydia.
Ternyata, PTUN mengabulkan gugatan Tjien. Majelis hakim memerintahkan agar rumah itu tetap status quo--seperti keadaan sebelum pengosongan. "Meskipun pemda menyatakan telah membeli tanah itu, status hukum penggugat selaku penyewa rumah tak bisa dihapuskan begitu saja. Seharusnya, hubungan sewa-menyewa penggugat diselesaikan dulu, baru pemda bisa membeli dan kemudian mengosongkan tanah itu," kata Iskandar.
Majelis hakim juga mempertanyakan kualitas pemda selaku pembeli tanah itu. Sebab, pemda sebenarnya baru membeli tanah itu pada Maret lalu. Tapi, pengosongan sudah dilakukan pada Desember sebelumnya. "Tanah itu belum dibeli, kok, sudah mengeluarkan perintah pengosongan terhadap orang yang punya hak sewa?" kata Iskandar.
Akan halnya putusan ganti rugi Rp 5 juta, menurut Iskandar, itu lantaran UU Peratun telah menentukan begitu. Ganti rugi tersebut dimaksudkan untuk kerugian langsung dan mendesak yang dialami penggugat akibat pengosongan rumah. Baik kerugian materiil, yang terdiri dari biaya pengeluaran dan pengangkutan barang, mencari tempat tinggal baru, dan kerusakan barang, maupun kerugian moril, seperti perasaan malu, resah, dan khawatir karena tak
tahu harus tinggal di mana setelah diusir.
"Kalau dipikir-pikir, memang ganti rugi maksimal Rp 5 juta itu, ya, enggak pas. Begitu pula bila kekurangan ganti ruginya harus dituntut ke pengadilan perdata, kan ndak praktis. Tapi, mau bagaimana? Undang-undangnya sudah menentukan begitu," ujar Iskandar.
Namun, mesti diingat, "Pokok masalah pada gugatan PTUN kan bukan pada soal ganti ruginya, melainkan pada keabsahan keputusan pejabat tata usaha negara," kata hakim kelahiran Riau pada tahun 1954 dan bertugas di PTUN Surabaya sejak tahun 1993 itu.
Akankah Bupati Jombang mematuhi putusan PTUN Surabaya? Untuk soal ketaatan pejabat tata usaha negara terhadap vonis PTUN--aspek kelemahan lain dari UU Peratun--agaknya, itu masalah yang tak cukup dikaji hanya dengan tulisan satu halaman begini.
Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 970503-037/Hal. 75 Rubrik Hukum
INI, barangkali, peringatan buat bupati agar tak semena-mena terhadap warga. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya pada Rabu pekan lalu, 16 April, mempersalahkan keputusan Bupati Jombang, Jawa Timur, Soewotohadi, yang melakukan pengosongan rumah seorang warganya, Ny. Tjioe Mei Tjien.
Menurut majelis hakim yang dipimpin Iskandar, keputusan bupati itu terhitung perbuatan sewenang-wenang. "Bupati tak berwewenang mengosongkan rumah itu. Sebab, penghuninya masih terikat hubungan sewa-menyewa," ujar Hakim Iskandar.
Berdasarkan itu, majelis hakim juga menghukum bupati untuk membayar ganti rugi Rp 5 juta--ganti rugi maksimal yang ditetapkan UU Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) No. 5 Tahun 1986--kepada Tjien. Dan, bila Tjien merasa ganti rugi itu terlalu kecil, majelis menyarankan agar Tjien menuntut lagi kerugiannya ke pengadilan negeri (perdata).
Tjien, yang kini terpaksa tinggal menumpang di rumah salah seorang tetangganya, tentu saja menyambut gembira putusan itu. Sebab, deritanya akibat pengosongan rumah itu secara paksa pada 5 Desember silam sulit untuk dilupakan.
Sebetulnya, Tjien telah menempati rumah itu sejak lama. Dia menyewa rumah di Jalan Wahid Hasyim 26, Jombang, itu setidaknya sejak tahun 1973. Hubungan sewa-menyewanya berlaku sampai tahun 1999.
Dulunya, rumah itu milik seorang warga Belanda bernama Albertine Cornelia Mariane Tan Raa. Belakangan, pada 2 Juli 1991, Pengadilan Negeri Jombang menetapkan Mariane dalam keadaan tak hadir (afwezigheid) karena telah meninggalkan Indonesia dan tiada kabarnya.
Tiba-tiba, pada 4 November 1996, Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat II (Kabupaten) Jombang mengeluarkan keputusan agar rumah yang dihuni Tjien segera dikosongkan. Menurut bupati, tanah rumah itu telah dibeli pemda. Kabarnya, tanah itu bakal digunakan untuk lokasi rumah-toko milik swasta.
Belum sempat Tjien mengajukan upaya hukum terhadap keputusan pengosongan itu, sebulan kemudian pihak pemda benar-benar mengosongkan rumah tersebut secara paksa. Tjien melalui kuasa hukumnya, Lydia Wongsonegoro, mencoba mencegah aksi pengosongan itu, dengan menyatakan tindakan tersebut tidak berdasarkan hukum.
Toh, para petugas tak mengindahkan pembelaan itu. Mereka tetap mengeluarkan barang-barang milik Tjien dari rumah tersebut. Akhirnya, lewat Lydia, Tjien menggugat Bupati Jombang ke PTUN Surabaya. Sebab, "Bupati bukannya mengayomi warganya, malah sebaliknya, menunjukkan arogansi kekuasaan," ujar Lydia.
Ternyata, PTUN mengabulkan gugatan Tjien. Majelis hakim memerintahkan agar rumah itu tetap status quo--seperti keadaan sebelum pengosongan. "Meskipun pemda menyatakan telah membeli tanah itu, status hukum penggugat selaku penyewa rumah tak bisa dihapuskan begitu saja. Seharusnya, hubungan sewa-menyewa penggugat diselesaikan dulu, baru pemda bisa membeli dan kemudian mengosongkan tanah itu," kata Iskandar.
Majelis hakim juga mempertanyakan kualitas pemda selaku pembeli tanah itu. Sebab, pemda sebenarnya baru membeli tanah itu pada Maret lalu. Tapi, pengosongan sudah dilakukan pada Desember sebelumnya. "Tanah itu belum dibeli, kok, sudah mengeluarkan perintah pengosongan terhadap orang yang punya hak sewa?" kata Iskandar.
Akan halnya putusan ganti rugi Rp 5 juta, menurut Iskandar, itu lantaran UU Peratun telah menentukan begitu. Ganti rugi tersebut dimaksudkan untuk kerugian langsung dan mendesak yang dialami penggugat akibat pengosongan rumah. Baik kerugian materiil, yang terdiri dari biaya pengeluaran dan pengangkutan barang, mencari tempat tinggal baru, dan kerusakan barang, maupun kerugian moril, seperti perasaan malu, resah, dan khawatir karena tak
tahu harus tinggal di mana setelah diusir.
"Kalau dipikir-pikir, memang ganti rugi maksimal Rp 5 juta itu, ya, enggak pas. Begitu pula bila kekurangan ganti ruginya harus dituntut ke pengadilan perdata, kan ndak praktis. Tapi, mau bagaimana? Undang-undangnya sudah menentukan begitu," ujar Iskandar.
Namun, mesti diingat, "Pokok masalah pada gugatan PTUN kan bukan pada soal ganti ruginya, melainkan pada keabsahan keputusan pejabat tata usaha negara," kata hakim kelahiran Riau pada tahun 1954 dan bertugas di PTUN Surabaya sejak tahun 1993 itu.
Akankah Bupati Jombang mematuhi putusan PTUN Surabaya? Untuk soal ketaatan pejabat tata usaha negara terhadap vonis PTUN--aspek kelemahan lain dari UU Peratun--agaknya, itu masalah yang tak cukup dikaji hanya dengan tulisan satu halaman begini.
Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 970503-037/Hal. 75 Rubrik Hukum
Comments