Nyawa Seharga Secarik KTP
Empat pemuda dihajar habis-habisan oleh dua polisi hanya karena tak membawa KTP. Mereka juga disuruh makan kecoak. Satu di antaranya lalu meninggal.
JANGAN pernah lupa membawa kartu tanda penduduk (KTP) kemanapun Anda pergi. Pada musim operasi KTP seperti sekarang, jika tak bisa memperlihatkan kartu identitas tersebut dan kebetulan sedang apes, Anda bisa bernasib seperti Teguh Soenarto: tewas dianiaya petugas.
Harga KTP mahal betul bagi tiga sekawan--Teguh, Itek dan Agus Harianto--terutama buat Teguh alias Atok. Bagi lelaki yang sedianya akan mengawini seorang gadis asal Surabaya itu, harga KTP setara dengan nyawanya sendiri.
Teguh Soenarto, 24 tahun, penduduk Petemon Sidomulyo IV/55, Surabaya, akhirnya menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo, Surabaya, Sabtu, 27 Maret. Kepergian lelaki yang sekujur badannya luka itu diiringi derai air mata serta keberangan keluarganya. "Saya tidak bisa terima kematian anak saya," kata Sudjiman, 50 tahun, ayah almarhum.
Wajarlah Sudjiman marah. Sebab, baru belakangan, ia tahu putranya tewas akibat dianiaya dua anggota Kepolisian Resor Kota (Polresta) Tanjungperak. Kisah tragis Atok baru diketahui Sudjiman setelah mendapatkan keterangan dari Itek, 16 tahun, dan Agus Harianto, teman Atok yang juga turut menjadi korban. Dua pemuda itu baru buka mulut saat mereka datang melayat ke rumah Sudjiman. Keduanya bercerita bahwa mereka--termasuk Atok--telah dianiaya oleh dua anggota Polresta Tanjungperak hanya karena tidak membawa KTP. Ketiga anak muda yang malang itu disiksa kedua polisi tersebut di tahanan Polresta Tanjungperak/Kepolisian Pelaksana Pengamanan Pelabuhan.
Awalnya, mereka bertiga ditangkap sejumlah petugas Polresta Tanjungperak di rumah biliar "Asli", di kawasan Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, pada 17 Maret 1997. Mereka belum satu set bermain biliar ketika tiba-tiba rumah sodok yang merangkap rumah makan itu didatangi petugas polisi. Polisi meminta agar semua pengunjung memperlihatkan KTP. Ternyata, ada empat orang yang tidak membawa KTP, yakni Agus Harianto, Itek, Teguh Soenarto, dan seorang lagi yang belakangan dikenal bernama Slamet. Malam itu juga, empat pemuda itu langsung dijeblos ke sel Polresta Tanjungperak.
Pagi harinya, keempatnya diinterogasi dua petugas polisi. Satu di antaranya adalah Letda Hendra, lulusan Akademi Kepolisian pada tahun 1995. Tanpa ba-bi-bu, menurut korban, kedua polisi langsung meminta mereka berempat mencopot seluruh pakaian. Lalu, sang letda menghajar mereka secara brutal.
Dengan mulut masih berbau alkohol, Letda Hendra, yang baru satu tahun bertugas di Polresta Tanjungperak, memukuli dengan rotan, menendang, dan menggebuk mereka. "Kalau kamu mau balas dendam, ini nama saya," kata Hendra sambil menunjuk dadanya, yang memang ada tulisan namanya.
Semula, ungkap korban, mereka berniat menanyakan apa salah mereka sehingga perlu disekap dan dianiaya. Tapi, Hendra dan kawannya itu malah menjawab dengan tendangan dan pukulan. Kedua pangkal paha Agus, misalnya, dipukuli dengan rotan. Sampai tulisan ini diturunkan, bekas pukulan tersebut masih belum hilang. Jari kelingking kiri Agus juga remuk karena dihantam rotan. Selain dipukul dan ditendang, kata Agus, dua polisi itu juga menyundut kemaluan mereka. Tak hanya itu. Mereka berempat kemudian disuruh menelan kecoak. "Tiap satu orang disuruh menelan dua kecoak," cerita Agus. Entah dari mana ide kedua polisi yang kalap tersebut berasal.
Dari empat pemuda itu, Teguh-lah yang paling banyak mendapat pukulan. Sebabnya sederhana: dialah yang dianggap paling besar. Kalau yang lain dipukul sekali, Teguh mendapat jatah tiga kali lipat. Padahal, menurut Sudjiman, anak lelakinya itu berbadan kerempeng. "Hanya, memang ia pernah belajar silat," kata Sudjiman. Meski sempat jadi pesilat, akhirnya Teguh ampun-ampun juga ketika disiksa terus-menerus. Akan halnya Agus, ia pun sempat minta ampun dengan menyembah kaki Hendra.
Setelah satu jam disiksa, empat pemuda itu disel lagi. Ternyata, nestapa mereka masih berlanjut. Lagi-lagi, kedua polisi punya ide "liar". Mereka menyuruh ke-15 tahanan yang berada di sel mengeroyok keempat pemuda tadi. Sebelumnya, mereka disuruh saling bertinju. Jelas saja, keempat orang yang tenaganya telah terkuras itu menjadi bulan-bulanan tahanan lain.
"Saya tak tahu siapa saja yang memukul karena kedua mata saya ditutupi," kata Agus. Yang jelas, setelah kejadian itu, mereka langsung ambruk. Baru sekitar pukul 07.00, keempatnya dilepas. Teguh, Agus, dan Itek dinaikkan ke becak oleh polisi menuju ke kawasan Kalimasbaru, tempat Itek tinggal. Akan halnya Slamet entah dipulangkan ke mana.
Karena Teguh sudah loyo, ia diantar oleh Agus dan Itek ke rumah orang tuanya di Petemon. Rupanya, Teguh langsung tertidur dan belum sempat bercerita tentang kejadian yang menimpanya. Baru sore harinya, saat mau beranjak bangun, ia merasa sakit pada bagian dada dan saluran kencingnya. Melihat kondisi anaknya yang sudah payah, Sudjiman kalut. Sore hari itu juga, Teguh langsung dilarikan ke Port Health Center (PHC) di Tanjungperak. Tapi, petugas PHC menolak karena keadaan Teguh sudah parah.
Sudjiman lalu membawa anaknya ke RSUD dr. Soetomo. Di sana, Teguh dirawat sampai sembilan hari, hingga menghembuskan napas terakhir. Meski sudah menjadi mayat, Sudjiman tak bisa segera membawa jenazah anaknya. Menurut petugas rumah sakit, si ayah harus minta surat ke polisi agar jenazah Teguh diautopsi. "Sebab, ada indikasi meninggalnya Teguh tidak wajar," kata petugas RSUD dr Soetomo, seperti ditirukan Sudjiman kepada D&R.
Tentu saja, Sudjiman kalang kabut lagi. Ia semakin paniksetelah mendapat kabar dari Agus dan Itek bahwa sebelum meninggal anaknya dianiaya oleh petugas polisi. Dalam keadaan bingung itulah, Sudjiman dianjurkan minta bantuan kepada pengacara Trimoelja D. Soerjadi. Dan, ia pun menurut.
Diantar Trimoelja, Sudjiman akhirnya mengadukan perkara tersebut ke detasemen polisi militer (Denpom), di samping minta agar mayat anaknya diautopsi. Bagi Sudjiman, tindakan semena-mena yang dilakukan petugas Polresta Tanjungperak itu sudah di luar batas kemanusiaan. Meskipun Kapolresta Tanjungperak, Wisnu Amat Sastro sudah meminta maaf, ia tak bisa menerima begitu saja kematian anaknya.
Memang, saat pemakaman Teguh, Wisnu ikut datang melayat dan menyerahkan uang Rp 1 Juta sebagai tanda belasungkawa. Tapi, bagi Sudjiman, kematian anaknya tak bisa dinilai dengan uang. "Saya ingin minta keadilan," tuturnya menegaskan.
Tindakan penganiayaan yang dilakukan petugas polisi terhadap Teguh, Itek, dan Agus itu juga dikecam Trimoelja. "Tindakan keras dan tegas perlu diambil terhadap petugas yang sewenang-wenang menyiksa orang-orang yang tidak berdaya," kata Trimoelja, seperti dalam surat protesnya yang dikirim ke Pangdam V Brawijaya dan Kapolda Jawa Timur, pada 29 Maret 1997. Menurut Trimoelja, tindakan polisi itu sudah merupakan tindakan kriminal karena dilakukan dengan sengaja. Indikasinya, kata Trimoelja, penyiksaan itu dilakukan setelah mereka diinapkan lebih dulu. Menurut pengacara yang melejit karena kasus Marsinah itu, ia percaya Pangdam V Brawijaya dan Kapolda Jawa Timur tidak akan menutup-nutupi, apalagi memetieskan perkara tersebut.
Lantas, bagaimana tanggapan aparat keamanan di Jawa Timur? Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur Letkol Sofwat Hadi, dua petugas polisi yang dilaporkan menganiaya itu sudah diamankan Denpom V Brawijaya. "Dua petugas itu telah diserahkan ke denpom," kata Sofwat Hadi kepada D&R. Namun, lanjut dia, kematian Teguh belum tentu akibat dianiaya kedua petugas. Sofwat tampaknya mencoba membela kedua sejawatnya itu.
"Belum tentu, Atok meninggal karena dianiaya petugas. Yang banyak memukul kan tahanan lain," ujar Sofwat. Soal perintah makan kecoak kepada keempat pemuda, ia juga menyebut perlu pembuktian. "Petugas kan hanya menyuruh. Apakah kecoaknya dimakan atau tidak, kita tidak tahu," kata Sofwat. Mengenai perihal operasi KTP yang dilakukan petugas, menurut dia, itu hanya pemeriksaan rutin guna memberantas pelaku kriminal. "Biasanya, pelaku kriminal itu tidak beridentitas," ujarnya lebih lanjut. Cuma, Sofwat tidak menegaskan apakah Teguh dkk. itu juga merupakan pelaku kriminal atau tidak.
Yang jelas, Sudjiman menyangkal anaknya penjahat. "Anak saya orang baik-baik dan bukan penjahat," tutur si ayah. Menurut orang tua itu, korban dikenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka membantu adik-adiknya. Selama bekerja di PT Ben Santoso--sebuah perusahaan dok dan perkapalan--Teguh kerap menyisihkan penghasilannya untuk membantu biaya sekolah adiknya yang di SMP.
Memang, lanjut Sudjiman, setiap malam Minggu Teguh main ke tempat biliar bersama teman-temannya. Pada hari yang nahas itu, Teguh sebenarnya pergi ke tempat biliar karena diajak Itek. Yang terakhir ini minta diajari bermain biliar. "Saya memang baru belajar biliar," kata Itek yang kelahiran Ujungpandang.
Itek, Agus, dan Teguh sama-sama bekerja di PT Ben Sentosa. Sehari-hari, ketiga pemuda itu bekerja membersihkan kapal. Yang dibersihkan terutama adalah lambung kapal yang diendapi tiram. Adalah pekerjaan yang melelahkan, tentunya. Maka, lumrah saja kalau setelah bekerja keras mereka selalu pelesiran. Satu-satunya hiburan yang murah tapi meriah adalah main di rumah
biliar.
Pada hari penangkapan, mereka memang tak membawa KTP. Teguh, menurut Sudjiman, memang tak punya KTP karena tiga bulan silam dompetnya hilang. "Tapi, ia sudah mengurus KTP baru karena tiga bulan lagi akan menikah dengan Ela," ujar Sudjiman. Jelas, KTP baru sudah percuma karena orangnya sudah tiada. Ela, kabarnya, sampai sekarang belum percaya kalau kekasihnya, Teguh, sudah kembali ke alam sana.
Laporan Zed Abidin dan Abdul Manan
D&R, Edisi 970405-033/Hal. 96 Rubrik Kriminalitas
JANGAN pernah lupa membawa kartu tanda penduduk (KTP) kemanapun Anda pergi. Pada musim operasi KTP seperti sekarang, jika tak bisa memperlihatkan kartu identitas tersebut dan kebetulan sedang apes, Anda bisa bernasib seperti Teguh Soenarto: tewas dianiaya petugas.
Harga KTP mahal betul bagi tiga sekawan--Teguh, Itek dan Agus Harianto--terutama buat Teguh alias Atok. Bagi lelaki yang sedianya akan mengawini seorang gadis asal Surabaya itu, harga KTP setara dengan nyawanya sendiri.
Teguh Soenarto, 24 tahun, penduduk Petemon Sidomulyo IV/55, Surabaya, akhirnya menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo, Surabaya, Sabtu, 27 Maret. Kepergian lelaki yang sekujur badannya luka itu diiringi derai air mata serta keberangan keluarganya. "Saya tidak bisa terima kematian anak saya," kata Sudjiman, 50 tahun, ayah almarhum.
Wajarlah Sudjiman marah. Sebab, baru belakangan, ia tahu putranya tewas akibat dianiaya dua anggota Kepolisian Resor Kota (Polresta) Tanjungperak. Kisah tragis Atok baru diketahui Sudjiman setelah mendapatkan keterangan dari Itek, 16 tahun, dan Agus Harianto, teman Atok yang juga turut menjadi korban. Dua pemuda itu baru buka mulut saat mereka datang melayat ke rumah Sudjiman. Keduanya bercerita bahwa mereka--termasuk Atok--telah dianiaya oleh dua anggota Polresta Tanjungperak hanya karena tidak membawa KTP. Ketiga anak muda yang malang itu disiksa kedua polisi tersebut di tahanan Polresta Tanjungperak/Kepolisian Pelaksana Pengamanan Pelabuhan.
Awalnya, mereka bertiga ditangkap sejumlah petugas Polresta Tanjungperak di rumah biliar "Asli", di kawasan Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, pada 17 Maret 1997. Mereka belum satu set bermain biliar ketika tiba-tiba rumah sodok yang merangkap rumah makan itu didatangi petugas polisi. Polisi meminta agar semua pengunjung memperlihatkan KTP. Ternyata, ada empat orang yang tidak membawa KTP, yakni Agus Harianto, Itek, Teguh Soenarto, dan seorang lagi yang belakangan dikenal bernama Slamet. Malam itu juga, empat pemuda itu langsung dijeblos ke sel Polresta Tanjungperak.
Pagi harinya, keempatnya diinterogasi dua petugas polisi. Satu di antaranya adalah Letda Hendra, lulusan Akademi Kepolisian pada tahun 1995. Tanpa ba-bi-bu, menurut korban, kedua polisi langsung meminta mereka berempat mencopot seluruh pakaian. Lalu, sang letda menghajar mereka secara brutal.
Dengan mulut masih berbau alkohol, Letda Hendra, yang baru satu tahun bertugas di Polresta Tanjungperak, memukuli dengan rotan, menendang, dan menggebuk mereka. "Kalau kamu mau balas dendam, ini nama saya," kata Hendra sambil menunjuk dadanya, yang memang ada tulisan namanya.
Semula, ungkap korban, mereka berniat menanyakan apa salah mereka sehingga perlu disekap dan dianiaya. Tapi, Hendra dan kawannya itu malah menjawab dengan tendangan dan pukulan. Kedua pangkal paha Agus, misalnya, dipukuli dengan rotan. Sampai tulisan ini diturunkan, bekas pukulan tersebut masih belum hilang. Jari kelingking kiri Agus juga remuk karena dihantam rotan. Selain dipukul dan ditendang, kata Agus, dua polisi itu juga menyundut kemaluan mereka. Tak hanya itu. Mereka berempat kemudian disuruh menelan kecoak. "Tiap satu orang disuruh menelan dua kecoak," cerita Agus. Entah dari mana ide kedua polisi yang kalap tersebut berasal.
Dari empat pemuda itu, Teguh-lah yang paling banyak mendapat pukulan. Sebabnya sederhana: dialah yang dianggap paling besar. Kalau yang lain dipukul sekali, Teguh mendapat jatah tiga kali lipat. Padahal, menurut Sudjiman, anak lelakinya itu berbadan kerempeng. "Hanya, memang ia pernah belajar silat," kata Sudjiman. Meski sempat jadi pesilat, akhirnya Teguh ampun-ampun juga ketika disiksa terus-menerus. Akan halnya Agus, ia pun sempat minta ampun dengan menyembah kaki Hendra.
Setelah satu jam disiksa, empat pemuda itu disel lagi. Ternyata, nestapa mereka masih berlanjut. Lagi-lagi, kedua polisi punya ide "liar". Mereka menyuruh ke-15 tahanan yang berada di sel mengeroyok keempat pemuda tadi. Sebelumnya, mereka disuruh saling bertinju. Jelas saja, keempat orang yang tenaganya telah terkuras itu menjadi bulan-bulanan tahanan lain.
"Saya tak tahu siapa saja yang memukul karena kedua mata saya ditutupi," kata Agus. Yang jelas, setelah kejadian itu, mereka langsung ambruk. Baru sekitar pukul 07.00, keempatnya dilepas. Teguh, Agus, dan Itek dinaikkan ke becak oleh polisi menuju ke kawasan Kalimasbaru, tempat Itek tinggal. Akan halnya Slamet entah dipulangkan ke mana.
Karena Teguh sudah loyo, ia diantar oleh Agus dan Itek ke rumah orang tuanya di Petemon. Rupanya, Teguh langsung tertidur dan belum sempat bercerita tentang kejadian yang menimpanya. Baru sore harinya, saat mau beranjak bangun, ia merasa sakit pada bagian dada dan saluran kencingnya. Melihat kondisi anaknya yang sudah payah, Sudjiman kalut. Sore hari itu juga, Teguh langsung dilarikan ke Port Health Center (PHC) di Tanjungperak. Tapi, petugas PHC menolak karena keadaan Teguh sudah parah.
Sudjiman lalu membawa anaknya ke RSUD dr. Soetomo. Di sana, Teguh dirawat sampai sembilan hari, hingga menghembuskan napas terakhir. Meski sudah menjadi mayat, Sudjiman tak bisa segera membawa jenazah anaknya. Menurut petugas rumah sakit, si ayah harus minta surat ke polisi agar jenazah Teguh diautopsi. "Sebab, ada indikasi meninggalnya Teguh tidak wajar," kata petugas RSUD dr Soetomo, seperti ditirukan Sudjiman kepada D&R.
Tentu saja, Sudjiman kalang kabut lagi. Ia semakin paniksetelah mendapat kabar dari Agus dan Itek bahwa sebelum meninggal anaknya dianiaya oleh petugas polisi. Dalam keadaan bingung itulah, Sudjiman dianjurkan minta bantuan kepada pengacara Trimoelja D. Soerjadi. Dan, ia pun menurut.
Diantar Trimoelja, Sudjiman akhirnya mengadukan perkara tersebut ke detasemen polisi militer (Denpom), di samping minta agar mayat anaknya diautopsi. Bagi Sudjiman, tindakan semena-mena yang dilakukan petugas Polresta Tanjungperak itu sudah di luar batas kemanusiaan. Meskipun Kapolresta Tanjungperak, Wisnu Amat Sastro sudah meminta maaf, ia tak bisa menerima begitu saja kematian anaknya.
Memang, saat pemakaman Teguh, Wisnu ikut datang melayat dan menyerahkan uang Rp 1 Juta sebagai tanda belasungkawa. Tapi, bagi Sudjiman, kematian anaknya tak bisa dinilai dengan uang. "Saya ingin minta keadilan," tuturnya menegaskan.
Tindakan penganiayaan yang dilakukan petugas polisi terhadap Teguh, Itek, dan Agus itu juga dikecam Trimoelja. "Tindakan keras dan tegas perlu diambil terhadap petugas yang sewenang-wenang menyiksa orang-orang yang tidak berdaya," kata Trimoelja, seperti dalam surat protesnya yang dikirim ke Pangdam V Brawijaya dan Kapolda Jawa Timur, pada 29 Maret 1997. Menurut Trimoelja, tindakan polisi itu sudah merupakan tindakan kriminal karena dilakukan dengan sengaja. Indikasinya, kata Trimoelja, penyiksaan itu dilakukan setelah mereka diinapkan lebih dulu. Menurut pengacara yang melejit karena kasus Marsinah itu, ia percaya Pangdam V Brawijaya dan Kapolda Jawa Timur tidak akan menutup-nutupi, apalagi memetieskan perkara tersebut.
Lantas, bagaimana tanggapan aparat keamanan di Jawa Timur? Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur Letkol Sofwat Hadi, dua petugas polisi yang dilaporkan menganiaya itu sudah diamankan Denpom V Brawijaya. "Dua petugas itu telah diserahkan ke denpom," kata Sofwat Hadi kepada D&R. Namun, lanjut dia, kematian Teguh belum tentu akibat dianiaya kedua petugas. Sofwat tampaknya mencoba membela kedua sejawatnya itu.
"Belum tentu, Atok meninggal karena dianiaya petugas. Yang banyak memukul kan tahanan lain," ujar Sofwat. Soal perintah makan kecoak kepada keempat pemuda, ia juga menyebut perlu pembuktian. "Petugas kan hanya menyuruh. Apakah kecoaknya dimakan atau tidak, kita tidak tahu," kata Sofwat. Mengenai perihal operasi KTP yang dilakukan petugas, menurut dia, itu hanya pemeriksaan rutin guna memberantas pelaku kriminal. "Biasanya, pelaku kriminal itu tidak beridentitas," ujarnya lebih lanjut. Cuma, Sofwat tidak menegaskan apakah Teguh dkk. itu juga merupakan pelaku kriminal atau tidak.
Yang jelas, Sudjiman menyangkal anaknya penjahat. "Anak saya orang baik-baik dan bukan penjahat," tutur si ayah. Menurut orang tua itu, korban dikenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka membantu adik-adiknya. Selama bekerja di PT Ben Santoso--sebuah perusahaan dok dan perkapalan--Teguh kerap menyisihkan penghasilannya untuk membantu biaya sekolah adiknya yang di SMP.
Memang, lanjut Sudjiman, setiap malam Minggu Teguh main ke tempat biliar bersama teman-temannya. Pada hari yang nahas itu, Teguh sebenarnya pergi ke tempat biliar karena diajak Itek. Yang terakhir ini minta diajari bermain biliar. "Saya memang baru belajar biliar," kata Itek yang kelahiran Ujungpandang.
Itek, Agus, dan Teguh sama-sama bekerja di PT Ben Sentosa. Sehari-hari, ketiga pemuda itu bekerja membersihkan kapal. Yang dibersihkan terutama adalah lambung kapal yang diendapi tiram. Adalah pekerjaan yang melelahkan, tentunya. Maka, lumrah saja kalau setelah bekerja keras mereka selalu pelesiran. Satu-satunya hiburan yang murah tapi meriah adalah main di rumah
biliar.
Pada hari penangkapan, mereka memang tak membawa KTP. Teguh, menurut Sudjiman, memang tak punya KTP karena tiga bulan silam dompetnya hilang. "Tapi, ia sudah mengurus KTP baru karena tiga bulan lagi akan menikah dengan Ela," ujar Sudjiman. Jelas, KTP baru sudah percuma karena orangnya sudah tiada. Ela, kabarnya, sampai sekarang belum percaya kalau kekasihnya, Teguh, sudah kembali ke alam sana.
Laporan Zed Abidin dan Abdul Manan
D&R, Edisi 970405-033/Hal. 96 Rubrik Kriminalitas
Comments