Sebuah Nyawa Berharga Rp 36 Ribu

Hanya dengan upah Rp 36 ribu, pemuda desa itu tega membunuh pacar temannya, yang sedang hamil, lalu membakar mayatnya.

KEDUA pemuda itu tampak tegang saat majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipimpin Tuti Sri Rijani, membacakan amar putusan. Seorang di antaranya, Asidillah, 21 tahun, menunduk terus sepanjang persidangan. Yang satunya lagi, Abu Sakur alias Ceker, 20 tahun, terlihat gelisah. Bahkan, ketika Hakim Tuti mengetukkan palu vonis penjara seumur hidup, Ceker langsung stres. Ia baru kembali normal setelah ditenangkan pengacaranya.

Sejak awal persidangan, perkara Dillah, panggilan Asidillah, dan Ceker telah menarik minat warga Sidoarjo. Mereka dijerat jaksa dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Dan, tak tanggung-tanggung, tuntutan terhadap kedua pemuda Desa Kalidawir, Sidoarjo, itu adalah hukuman mati. "Vonis seumur hidup itu merupakan yang tertinggi di sini sepanjang tahun 1990-an," ujar seorang panitera di PN Sidoarjo.

Nasib apes Dillah dan Ceker itu bermula dari acara peringatan Kemerdekaan RI, Agustus dua tahun lalu. Saat itu, Dillah ikut dalam pertandingan bola voli membela tim desanya. Di sana pula, ia pertama kali berkenalan dengan Lilik, yang menonton pertandingan voli tersebut. Kedua sejoli itu ternyata cocok. Maka, perkenalan itu pun diikuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Yang namanya kisah asmara, jamaknya, bercampur dengan nafsu setan. Dan, kedua sejoli itu ternyata tak mampu membendungnya, sampai akhirnya Lilik hamil. Masalah itu segera diadukan Lilik kepada ibunya, Ny. Kismah. Tanpa pikir panjang, sang ibu pun meminta pertanggungjawaban Dillah dan keluarganya. Singkat cerita, disepakatilah rencana pernikahan Dillah dan Lilik.

Namun, Dillah ternyata tak siap untuk membina rumah tangga. Apalagi, ibunya tak merestui rencana pernikahan tersebut. Akibatnya, pemuda yang dikenal pendiam itu bingung dan gelisah. Kepada teman-temannya, ia selalu menumpahkan kegelisahan tersebut. "Aku bingung, Rek," ujarnya saat menonton sebuah pertandingan sepak bola. Keluhan itu di dengar Ceker, yang
lantas berkata, "Enggak usah bingung. Dibres'e ae, ta." Yang akan "dibereskan" itu adalah Lilik.

Ucapan Ceker itu tak ditanggapi Dillah. Tapi, saat bertemu keesokan harinya, Ceker berkata lagi, "Masih bingung? Ta' bres'e ae, ta." Kali ini, ucapan itu tertanam dalam pikiran Dillah. Beberapa hari kemudian, mereka kembali bertemu. "Temen ta kowe wani (benarkah kamu berani)?" tanya Dillah. Dijawab Ceker, "Wani asal ono syarate (berani asal ada syaratnya)."

Syarat yang dimaksud adalah uang Rp 36 ribu. Sebagai persekot, Ceker menerima Rp 20 ribu, sedangkan sisanya diberikan setelah pembunuhan dilakukan. Begitu persyaratan itu diterima Dillah, disusunlah rencana untuk menghabisi Lilik. Lokasi pembantaian ditetapkan di Tanggul Porong, Desa Permisan. Waktunya adalah 28 Juni 1996, pukul 19.00.

Sehari sebelumnya, Dillah menulis surat buat Lilik. Isinya, Lilik diminta menemui Dillah di perbatasan Desa Kalidawir dengan Desa Banjarasri, besok. Tanpa curiga, Lilik memenuhi undangan kekasihnya. Dengan mengendarai sepeda motor Suzuki, ia datang ke perbatasan desa. Di sana, Dillah telah menunggu bersama temannya, Afifuddin.

Setelah berbincang sebentar, Dillah menyuruh Afifuddin menjemput Ceker. Ia sendiri, bersama Lilik, berboncengan ke Tanggul Porong. Sesampai mereka di lokasi, kedua sejoli itu duduk-duduk di atas tanggul, tanpa banyak berbicara. Menurut penuturan Dillah kepada pengacaranya, saat-saat terakhir itu, Lilik sempat bertanya mengenai rencana pernikahan mereka. "Yo, dadi (Ya, jadi,)," jawab Dillah pendek.

Tak lama kemudian, Ceker pun datang mengendarai sepeda motor milik Dillah. Sesuai rencana, Ceker pura-pura memanggil Dillah. Setelah pamit kepada Lilik, Dillah pun turun dari tanggul. Lilik, yang ditinggal sendirian di atas tanggul, tenang-tenang saja tanpa curiga. Beberapa saat kemudian, terdengar panggilan dari arah belakang, "Lik...." Begitu gadis itu menoleh, "Kras... kras...." Ceker langsung menebaskan parangnya. Darah segar langsung muncrat dari leher Lilik. Gadis itu langsung terkapar, tanpa sempat berteriak. Untuk memastikan korbannya benar-benar tewas, Ceker masih menebaskan goloknya sekali lagi ke leher Lilik.

Setelah itu, dengan tenang, Ceker menemui Dillah yang menunggu di bawah tanggul. "Wis beres (sudah beres)," katanya. Ceker berniat menceburkan mayat Lilik ke sungai. Tapi, Dillah mengusulkan dibakar agar menghilangkan jejak. Untuk itu, Dillah lantas pergi membeli bensin ke warung H. Rukiyah, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari lokasi pembantaian. Tapi, karena gugup, ia lupa membeli korek api sehingga terpaksa kembali lagi setengah jam kemudian. Baru setelah semua peralatan lengkap, mayat Lilik pun dibakar hingga tak bisa dikenali lagi.

Setelah melakukan pembantaian, kedua pemuda itu berlalu dengan tenang. Bahkan, untuk menghindari kecurigaan, sehari setelah pembantaian, Dillah datang ke rumah Lilik dan pura-pura mencari kekasihnya itu. Tapi, ya, tentu saja, Lilik tak pernah muncul lagi, sampai hari pernikahan yang direncanakan.

Namun, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya pasti tercium juga. Hanya beberapa hari kemudian, Ny. Kismah menemukan surat yang ditulis Dillah untuk putrinya. Ia segera melaporkannya kepada Kepala Desa Kalidawir. Dillah pun segera diperiksa. Semula, ia tak mau mengakui perbuatannya. Tapi, setelah didesak kakaknya, Ainurrofiq, ia akhirnya menceritakan peristiwa pembantaian itu. Keesokan harinya, Dillah langsung diserahkan ke Polsek Tanggulangin, Sidoarjo. Hari itu juga, Ceker diciduk dari rumahnya.

Selama persidangan, Dillah pasrah dan memberikan keterangan tanpa berbelit-belit. "Mau bagaimana lagi, Mas? Saya memang bersalah," ujar Dillah saat ditemui D&R di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sidoarjo. Sebaliknya Ceker, selalu tegang dan kerap berulah. Ia, misalnya, pernah melakukan aksi mogok: tak mau hadir di sidang. Apalagi saat beredar kabar mereka berdua akan segara dipindahkan ke Nusakambangan, tempat narapidana kelas kakap ditahan.

Keluarga Dillah sendiri juga pasrah dengan putusan penjara seumur hidup itu. "Dia memang bersalah, ya, pantaslah dihukum seperti itu," kata Chozin, ayah Dillah. Karena itu, mereka tak berniat mengajukan banding atas perkara Dillah itu. "Di sinilah kesempatanmu untuk bertobat," kata Chozin, saat membesuk anaknya di LP Sidoarjo. Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama Desa Kalidawir itu semula tak menyangka anaknya tega melakukan perbuatan keji itu. Sebab, sehari-harinya, Dillah dikenal sebagai anak baik dan jarang bergaul dengan anak-anak nakal.

Selama di penjara, Dillah tak banyak melakukan kegiatan. "Aktivitas saya sehari-hari, ya, seperti ini. Kadang-kadang, saya berolah raga," kata anak keenam dari 10 bersaudara itu. Akhir-akhir ini, Dillah sering mengeluh. Pasalnya, di selnya yang baru, dari 23 orang hanya ia dan seorang narapidana lainnya yang melakukan salat secara rutin. "Di sel baru ini juga sering kehabisan air," keluh Dillah lagi. Sayang, saat ditanya mengenai soal pembantaian Lilik, ia selalu menghindar. "Tolong, jangan ditanya soal itu lagi," ujarnya sambil tertunduk. Agaknya, Dillah telah menyesali perbuatannya. "Saya ingin minta maaf kepada keluarga Lilik. Tapi, waktunya itu saya tidak tahu kapan," ujar Dillah.

Namun, keluarga Lilik agaknya belum bisa memaafkan pemuda itu. Bahkan, mereka tak bisa menerima hukuman seumur hidup yang dijatuhkan hakim. Mereka minta agar kedua terdakwa itu dihukum lebih berat: vonis mati. "Coro matenine koyo PKI (Cara membunuhnya seperti Partai Komunis Indonesia)," kata Ny. Kismah sambil menangis sesunggukan. Ketika ditemukan, kondisi mayat Lilik memang mengenaskan. Mayatnya gosong dan telah membusuk. Saat mayatnya diangkat, janin yang dikandungnya sempat terjatuh. Satu-satunya tanda yang masih bisa dikenali adalah baju yang dikenakan Lilik saat pamit untuk terakhir kalinya: sebuah baju terusan warna biru.

Laporan Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 970308-029/Hal. 106 Rubrik Romantika

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO