Di Mana Permata Rp 3 Miliar Itu
Perampokan permata bernilai Rp 3 miliar itu terjadi pada hari kedua Lebaran. Tidak ada petunjuk apa pun hingga saat ini. Kejadiannya juga mengandung banyak keganjilan.
EMPAT puluh butir batu permata senilai Rp 3 miliar raib dibawa kabur lima orang perampok dari sebuah brankas di kantor Komite Tinju Indonesia (KTI) di Jalan Bintoro, Surabaya, 10 Februari lalu. Pemilik batu-batuan berharga--yang terdiri dari safir biru, berlian, mirah, jamrud, giok--itu adalah Wei Fan alias Paulus Welly Affandy, 53 tahun, Ketua KTI.
Pada hari nahas tersebut, kantor KTI yang juga rumah tinggal Wei Fan hanya ditunggui oleh empat orang. Mereka adalah Jhony Tanuharja, 45 tahun, dan Joko Supriyanto, 24 tahun, keduanya pegawai KTI. Serta, ada dua wanita pembantu rumah tangga, yakni Murni, 30 tahun, dan Sarmi, 38 tahun. Akan halnya Wei Fan, yang baru keluar dari rumah sakit, sedang tidak ada di rumah Jalan Bintoro itu.
Setelah dua minggu berlalu, kasus perampokan pada sore hari tersebut masih gelap tanpa petunjuk. Jangankan menduga siapa pelaku perampokan, keterangan yang gamblang dari si pemilik permata juga belum dapat dihimpun. Sampai saat ini, yang ditanyai secara intensif oleh polisi adalah keempat orang yang berada di rumah ketika perampokan terjadi.
Ceritanya begini. Lima orang tak dikenal memasuki kantor Sekretariat Komisi Tinju Indonesia yang terletak di Jalan Bintoro, Surabaya, sekitar pukul 16.00, pada Senin, 10 Februari lalu. Kedatangan tamu tak dikenal itu sempat tertangkap kamera pengintai yang dipasang di pagar rumah. Jhoni Tanuharja, seorang karyawan KTI, yang melihat kedatangan lima laki-laki misterius dari layar monitor di lantai dua bangunan tersebut langsung curiga. Soalnya, menurut keterangan yang disampaikan kepada polisi, ia melihat kilatan belati yang dikeluarkan dari pinggang "tamu-tamu" itu. Lalu, dia buru-buru memperingatkan Joko Supriyanto, temannya yang berjaga di lantai bawah, via telepon paralel.
Namun, ternyata, kelima pendatang itu bergerak lebih cepat daripada peringatan Jhoni. Melihat lima orang tersebut, Joko sempat lari ke lantai dua. Sayangnya, dia jatuh terpeleset sehingga kelima perampok itu menangkap Joko. Lalu, laki-laki malang tersebut dipukul dengan pangkal golok, diborgol, dan ditutup mata dan mulutnya dengan lakban, lalu "disimpan" di dapur.
Untung bagi Jhony yang sempat meloloskan diri dengan lari ke lantai tiga, kemudian meloncat ke atap rumah tetangga. Tapi, ketika Jhony bermaksud meminjam telepon di tetangganya itu, ini masih keterangan Jhony kepada polisi, dia malah tidak diizinkan masuk. Akhirnya, Jhony berlari ke Jalan Darmo, mencari telepon umum, dan menelepon Wei Fan. Murni dan Sarmi juga sempat menyelamatkan diri, bersembunyi di kamar mandi.
Seperti sudah tahu apa yang harus dilakukan, kelima perampok pada sore hari tersebut langsung menuju ruang kerja Wei Fan, yang terletak di sebelah kiri pintu masuk, tempat menyimpan brankas. Kawanan perampok juga terlihat begitu profesional. Hal itu terbukti dari kemampuan mereka membongkar dan menggasak isi brankas, hanya dalam waktu kurang dari sejam. Karenanya, pada saat polisi datang, kawanan perampok tersebut sudah kabur meninggalkan brankas yang terbuka dan kosong. Mereka pun tidak lupa memutuskan kabel-kabel telepon di rumah tersebut. Para perampok itu juga menelepon Sekretariat KTI, mencari Wei Fan, untuk memastikan ada tidaknya Wei Fan.
Nah, pada saat kejadian itu berlangsung, Wei Fan sedang berada di rumahnya di kawasan Jalan Seruni, Surabaya. Pengusaha keturunan Cina itu mengaku baru mengetahu aksi perampokan tersebut setelah ditelepon Johny. Menurut dia, batu-batu permata itu sangat bernilai baginya dan bagi peruntungan bisnisnya. "Karena, batu-batu tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia," katanya sembari mengimbau siapa saja yang ditawari untuk membeli batu-batu itu agar menolak.
Menyimak kronologi kejadian, sepertinya ada banyak kejanggalan pada kasus perampokan itu. Tidak mengherankan kalau kemudian sumber kepolisian menduga bahwa pelaku perampokan adalah "orang dekat", yaitu orang yang tahu persis tempat permata-permata tersebut disimpan. Buktinya, mereka dengan pasti langsung menuju ruang kerja Wei Fan dan tidak kesasar ke ruang-ruang lainnya yang berjumlah sembilan. Tambahan, para perampok itu "hanya" mengambil 40 butir berbagai jenis permata, tanpa menyentuh uang puluhan ribu rupiah yang tergeletak di brankas tersebut. Yah, mungkin saja si perampok silau oleh permata itu sehingga uang puluhan ribu--memang tak ada artinya dibandingkan nilai permata yang miliaran itu--dibiarkan saja.
Keanehan lain adalah cara Wei Fan menyimpan butir-butir permata yang bernilai antara Rp 60 juta dan Rp 100 juta itu, yang terkesan begitu sembrono. Permata tersebut hanya disimpan di sebuah brankas buatan Jepang berukuran 50 sentimeter kubik, bermerek Ichiban. Begitu saja, tanpa teknik menyimpan yang lebih layak untuk barang seberharga itu. Yang menarik, batu-batu permata tersebut ternyata juga tidak diasuransikan.
Menurut keterangan resmi pihak kepolisian, kasus perampokan permata Wei Fan juga banyak "lubang-lubang"-nya. Apakah benar brankas penyimpan permata seberat 300 kilogram itu dapat dibongkar hanya dengan gergaji dalam waktu kurang dari satu jam, misalnya. Menurut pihak kepolisian, paling tidak dibutuhkan dua jam hingga tiga jam untuk mematahkan batang baja setebal tiga sentimeter itu. "Apa pun jenis gergajinya, manual atau listrik," kata Letkol Oegroseno, Kasatserse Polwiltabes Surabaya. Menurut Oegro, bagaimana perampok membongkar brankas sangat penting karena hal itu menunjukkan keprofesionalan si perampok.
Akan tetapi, sayangnya, begitu banyak pertanyaan yang mengapung-ngapung tak terjawab, Wei Fan malah bungkam. Ia enggan memberikan penjelasan, tanpa alasan. Padahal, penjelasan dari Wei Fan kemungkinan besar dapat menghapus dugaan yang banyak bermunculan. Antara lain, benarkah ada permata-permata itu atau cuma fiktif? Atau, ada sesuatu yang lebih penting dalam brankas itu yang hilang? Wei Fan-lah yang kini bisa menjawab, selain para perampok itu.
Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 970301-028/Hal. 84 Rubrik Kriminalitas
EMPAT puluh butir batu permata senilai Rp 3 miliar raib dibawa kabur lima orang perampok dari sebuah brankas di kantor Komite Tinju Indonesia (KTI) di Jalan Bintoro, Surabaya, 10 Februari lalu. Pemilik batu-batuan berharga--yang terdiri dari safir biru, berlian, mirah, jamrud, giok--itu adalah Wei Fan alias Paulus Welly Affandy, 53 tahun, Ketua KTI.
Pada hari nahas tersebut, kantor KTI yang juga rumah tinggal Wei Fan hanya ditunggui oleh empat orang. Mereka adalah Jhony Tanuharja, 45 tahun, dan Joko Supriyanto, 24 tahun, keduanya pegawai KTI. Serta, ada dua wanita pembantu rumah tangga, yakni Murni, 30 tahun, dan Sarmi, 38 tahun. Akan halnya Wei Fan, yang baru keluar dari rumah sakit, sedang tidak ada di rumah Jalan Bintoro itu.
Setelah dua minggu berlalu, kasus perampokan pada sore hari tersebut masih gelap tanpa petunjuk. Jangankan menduga siapa pelaku perampokan, keterangan yang gamblang dari si pemilik permata juga belum dapat dihimpun. Sampai saat ini, yang ditanyai secara intensif oleh polisi adalah keempat orang yang berada di rumah ketika perampokan terjadi.
Ceritanya begini. Lima orang tak dikenal memasuki kantor Sekretariat Komisi Tinju Indonesia yang terletak di Jalan Bintoro, Surabaya, sekitar pukul 16.00, pada Senin, 10 Februari lalu. Kedatangan tamu tak dikenal itu sempat tertangkap kamera pengintai yang dipasang di pagar rumah. Jhoni Tanuharja, seorang karyawan KTI, yang melihat kedatangan lima laki-laki misterius dari layar monitor di lantai dua bangunan tersebut langsung curiga. Soalnya, menurut keterangan yang disampaikan kepada polisi, ia melihat kilatan belati yang dikeluarkan dari pinggang "tamu-tamu" itu. Lalu, dia buru-buru memperingatkan Joko Supriyanto, temannya yang berjaga di lantai bawah, via telepon paralel.
Namun, ternyata, kelima pendatang itu bergerak lebih cepat daripada peringatan Jhoni. Melihat lima orang tersebut, Joko sempat lari ke lantai dua. Sayangnya, dia jatuh terpeleset sehingga kelima perampok itu menangkap Joko. Lalu, laki-laki malang tersebut dipukul dengan pangkal golok, diborgol, dan ditutup mata dan mulutnya dengan lakban, lalu "disimpan" di dapur.
Untung bagi Jhony yang sempat meloloskan diri dengan lari ke lantai tiga, kemudian meloncat ke atap rumah tetangga. Tapi, ketika Jhony bermaksud meminjam telepon di tetangganya itu, ini masih keterangan Jhony kepada polisi, dia malah tidak diizinkan masuk. Akhirnya, Jhony berlari ke Jalan Darmo, mencari telepon umum, dan menelepon Wei Fan. Murni dan Sarmi juga sempat menyelamatkan diri, bersembunyi di kamar mandi.
Seperti sudah tahu apa yang harus dilakukan, kelima perampok pada sore hari tersebut langsung menuju ruang kerja Wei Fan, yang terletak di sebelah kiri pintu masuk, tempat menyimpan brankas. Kawanan perampok juga terlihat begitu profesional. Hal itu terbukti dari kemampuan mereka membongkar dan menggasak isi brankas, hanya dalam waktu kurang dari sejam. Karenanya, pada saat polisi datang, kawanan perampok tersebut sudah kabur meninggalkan brankas yang terbuka dan kosong. Mereka pun tidak lupa memutuskan kabel-kabel telepon di rumah tersebut. Para perampok itu juga menelepon Sekretariat KTI, mencari Wei Fan, untuk memastikan ada tidaknya Wei Fan.
Nah, pada saat kejadian itu berlangsung, Wei Fan sedang berada di rumahnya di kawasan Jalan Seruni, Surabaya. Pengusaha keturunan Cina itu mengaku baru mengetahu aksi perampokan tersebut setelah ditelepon Johny. Menurut dia, batu-batu permata itu sangat bernilai baginya dan bagi peruntungan bisnisnya. "Karena, batu-batu tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia," katanya sembari mengimbau siapa saja yang ditawari untuk membeli batu-batu itu agar menolak.
Menyimak kronologi kejadian, sepertinya ada banyak kejanggalan pada kasus perampokan itu. Tidak mengherankan kalau kemudian sumber kepolisian menduga bahwa pelaku perampokan adalah "orang dekat", yaitu orang yang tahu persis tempat permata-permata tersebut disimpan. Buktinya, mereka dengan pasti langsung menuju ruang kerja Wei Fan dan tidak kesasar ke ruang-ruang lainnya yang berjumlah sembilan. Tambahan, para perampok itu "hanya" mengambil 40 butir berbagai jenis permata, tanpa menyentuh uang puluhan ribu rupiah yang tergeletak di brankas tersebut. Yah, mungkin saja si perampok silau oleh permata itu sehingga uang puluhan ribu--memang tak ada artinya dibandingkan nilai permata yang miliaran itu--dibiarkan saja.
Keanehan lain adalah cara Wei Fan menyimpan butir-butir permata yang bernilai antara Rp 60 juta dan Rp 100 juta itu, yang terkesan begitu sembrono. Permata tersebut hanya disimpan di sebuah brankas buatan Jepang berukuran 50 sentimeter kubik, bermerek Ichiban. Begitu saja, tanpa teknik menyimpan yang lebih layak untuk barang seberharga itu. Yang menarik, batu-batu permata tersebut ternyata juga tidak diasuransikan.
Menurut keterangan resmi pihak kepolisian, kasus perampokan permata Wei Fan juga banyak "lubang-lubang"-nya. Apakah benar brankas penyimpan permata seberat 300 kilogram itu dapat dibongkar hanya dengan gergaji dalam waktu kurang dari satu jam, misalnya. Menurut pihak kepolisian, paling tidak dibutuhkan dua jam hingga tiga jam untuk mematahkan batang baja setebal tiga sentimeter itu. "Apa pun jenis gergajinya, manual atau listrik," kata Letkol Oegroseno, Kasatserse Polwiltabes Surabaya. Menurut Oegro, bagaimana perampok membongkar brankas sangat penting karena hal itu menunjukkan keprofesionalan si perampok.
Akan tetapi, sayangnya, begitu banyak pertanyaan yang mengapung-ngapung tak terjawab, Wei Fan malah bungkam. Ia enggan memberikan penjelasan, tanpa alasan. Padahal, penjelasan dari Wei Fan kemungkinan besar dapat menghapus dugaan yang banyak bermunculan. Antara lain, benarkah ada permata-permata itu atau cuma fiktif? Atau, ada sesuatu yang lebih penting dalam brankas itu yang hilang? Wei Fan-lah yang kini bisa menjawab, selain para perampok itu.
Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 970301-028/Hal. 84 Rubrik Kriminalitas
Comments