Naga Hijau: Antara Ada dan Tiada
Menurut Gus Dur, kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya disulut oleh "Operasi Naga Hijau" untuk mengaduk-aduk warga NU. Tapi, beberapa pihak, termasuk aparat keamanan, membantah pernyataan Ketua Umum PBNU itu.
KERUSUHAN Situbondo dan Tasikmalaya sudah usai hampir sebulan lampau, namun pembicaraan tentangnya masih juga belum usai. Belakangan, disebut-sebut apa yang dinamakan Operasi Naga Hijau, yang diduga melakukan pancingan-pancingan agar warga Nahdlatul Ulama (NU) di beberapa tempat marah dan melakukan aksi massal.
Mengapa NU? Kecurigaan itu bisa dimengerti karena kerusuhan tersebut terjadi di dua daerah yang merupakan basis NU. Dalam Insiden Situbondo, Jawa Timur (Jatim), tanggal 10 Oktober lalu, rakyat Situbondo yang kebanyakan warga NU berasal dari Madura tergerak karena tak puas setelah Saleh, seorang yang menghina agama Islam, hanya dituntut lima tahun. Akibatnya, 56 gedung terbakar (24 di antaranya gereja) dan lima orang mati terpanggang. Akan halnya di Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar) kerusuhan tanggal 26 Desember lalu berawal dari aksi pemukulan beberapa polisi terhadap K.H. Mahmud Farid, guru di Pondok Pesantren Riadulum wal Dakwah. Akibatnya lebih dahsyat lagi. Lebih dari 70 bangunan dan 107 kendaraan terbakar dan empat orang meninggal karenanya.
Kejadian hampir beruntun di gudang NU itu membuat Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid mengambil langkah-langkah cepat. Ketika Situbondo meletus, Gus Dur, yang saat itu sedang berada di Roma untuk suatu acara diskusi keagamaan, segera mengirim faksimile ke media-media massa. Isinya: permintaan maaf karena kejadian di Situbondo itu hampir dipastikan akan melibatkan warga NU. Belakangan, setelah tim pencari fakta dari Gerakan Pemuda Ansor bergerak, ada beberapa indikasi bahwa kasus itu direkayasa oleh beberapa pihak.
Kemudian terjadi lagi kasus Tasikmalaya. Aksi tersebut membuat kiai unik itu sibuk berkeliling ke mana-mana untuk menjelaskan posisi NU. Dalam kasus Tasikmalaya memang salah seorang yang disangka sebagai dalang kini sedang dikejar. Kabarnya, ia adalah Sekretaris Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tasikmalaya, sebuah organisasi kemasyarakatan pemuda NU. "Tapi, semua tingkahnya adalah atas nama pribadi dan tak pernah dilaporkan dalam rapat," ujar Gus Dur. Ia lalu mengingatkan bahwa di samping Mimih, Sekretaris PMII itu, masih ada tokoh dari organisasi yang lain yang tak pernah disebut-sebut oleh aparat keamanan.
Ihwal Naga Hijau menjadi berita nyata ketika Ketua PWNU Jatim K.H. Hasyim Muzadi secara mengagetkan menyebutkan dengan jelas info tersebut. "Kami telah menemukan lima pancingan yang disebut Operasi Naga Hijau yang berusaha mengaduk-aduk warga NU di Jatim," katanya kepada wartawan Kantor Berita Antara dalam acara berbuka puasa dengan Gubernur Jatim Basofi Soedirman dan para ulama NU, Kamis pekan lalu, 16 Januari, di Surabaya.
Pancingan itu, menurut Kiai Hasyim, ditemukan di sebuah pondok di Ponorogo, dua buah di Malang (di Sengkaling, Kecamatan Dau; dan Wringinanom, Kecamatan Tumpang), Kediri, dan Blitar. "Semua sasaran pancingan adalah warga NU dengan tujuan merusak bangsa ini," kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Alhikam, Malang, itu.
Cara pancingan yang digunakan berbeda-beda. Di Ponorogo, misalnya, tiba-tiba timbul isu bahwa di Pondok Kiai Maghfur ada santri putri yang diperkosa di terminal. Isu itu mulanya sempat memancing para santri lainnya untuk menyerbu terminal. "Untungnya, kami memiliki kontak dengan Kiai Maghfur dan beliau segera menginformasikannya kepada kami, sehingga isu itu dapat diredam dan tak sampai meledak," kata kiai yang ikut sibuk saat Peristiwa Situbondo meletus itu.
Di Kediri, kerusuhan juga hampir terjadi. "Berawal dari seorang pamong desa yang digerebek warga kampung karena suka main perempuan," cerita Fuad Anwar, Sekretaris PWNU Jatim. Saat dikejar, si pamong terperosok dalam lubang pembuat batu bata. Karena luka-luka, ia malah melaporkan pengejaran itu ke polisi; dan sejumlah warga ditahan polisi. Warga kemudian memprotes ke polsek setempat dan peristiwa itu bisa segera didinginkan.
Soal tanah wakaf untuk masjid di Sengkaling dan Wringinanom adalah pencetus calon kerusuhan berikutnya. Semula, kasus lama itu adalah murni kasus perdata. "Tapi, entah mengapa ahli waris pemberi tanah wakaf itu tiba-tiba meminta tanahnya kembali," kata Fuad. Kemudian, ada yang meniupkan bahwa ahli waris itu beragama Kristen. Tindakan itu memancing kemarahan jamaah masjid, namun sekali lagi dapat dikendalikan.
Akan halnya di Blitar, isu yang beredar adalah terjadi penganiyaan terhadap tenaga penuh waktu NU setempat oleh pemuda yang kemudian lari ke terminal. Anak-anak muda warga NU itu kemudian melabrak para pemuda di terminal. Untungnya, meski sudah terjadi bentrokan, persoalannya tidak meledak dan membesar.
Operasi Naga Hijau, menurut Hasyim Muzadi, punya sasaran agar massa NU terpancing dan marah. Jika mereka, yang jumlahnya tak sedikit, itu sudah marah, akan mudah sekali "ditunggangi" dengan massa yang lebih besar yang memiliki tujuan atau kepentingan lain. Massa itu tak akan diketahui karena kesalahan akan ditimpakan ke warga NU. Itu memang baru sebuah analisa.
"Hal inilah yang terjadi di Tasikmalaya beberapa waktu lalu. Jadi, otak dari operasi memancing munculnya emosi massa NU. Bila sudah muncul, dapat ditumpangi dengan mudah untuk kepentingan-kepentingan lain," ujarnya.
Namun, analisa itu tampaknya bisa diterima. Menurut Fuad Anwar, tingkat pendidikan warga NU yang masih rendah membuat mereka cenderung menggunakan ototnya ketimbang akalnya. Karena itu, ia wanti-wanti kepada warganya agar meningkatkan kewaspadaan. "Jika terjadi hal-hal seperti itu, segeralah melakukan cek kepada pengurus NU setempat atau langsung kepada pengurus NU tingkat Jatim," katanya.
Akan tetapi, andai itu benar, bagaimana sampai ada nama jelas: Naga Hijau? Ketua PBNU Abdurrahman Wahid sendiri, konon, yang melontarkannya dalam beberapa kesempatan. Ketika menghadiri ulang tahun artis Yenny Rachman, Sabtu lalu, 18 Januari, misalnya, ia menegaskan bahwa Operasi Naga Hijau, yang sudah bergerak di Jatim dan Jabar, sekarang sedang bergerak menuju daerah Jawa Tengah, seperti Tegal, Pekalongan, dan Pemalang yang juga merupakan daerah basis NU. Saat itu, Gus Dur mengatakan bahwa tujuannya mengeluarkan pernyataan tersebut agar basis-basis NU yang kini menjadi sasaran itu mempertinggi kewaspadaan.
Pendapat kiai yang kerap bikin berita itu kontan menyulut reaksi. Warga NU sendiri ada yang menganggap beberapa pancingan yang disebutkan dalam Operasi Naga Hijau itu murni kasus perdata biasa. Namun, seorang sumber dari NU Jatim lainnya yakin bahwa Operasi Naga Hijau itu benar-benar terjadi. Tujuannya? Memecah-belah warga NU agar 30 juta warga NU itu tak solid mendukung organisasi politik tertentu dalam pemilihan umum nanti. Bagaimanapun, yang dikatakan sumber NU yang tak mau disebut identitasnya itu tergolong analisa dan belum fakta. Jadi, bisa benar, kemungkinan pula keliru.
Yang cenderung menganggap keliru antara lain Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal R. Hartono. "Tanyakan saja kepada Gus Dur," ujar KSAD Jenderal Hartono ketika ditanya tentang pendapat Gus Dur itu. Juga Pangdam Diponegoro Mayjen Soebagyo H.S. mengaku tidak tahu apa yang dimaksud Gus Dur. Karena itu, ia minta agar Gus Dur menjelaskan hal tersebut.
Adapun Pangdam Brawijaya Mayjen Imam Oetomo menegaskan bahwa Operasi Naga Hijau tidak ada. "Saya kira semua orang sudah menyadari bahwa selama ini tidak ada yang mau memojokkan NU. Itu terbukti tidak ada," katanya, tegas.
Soal lima pancingan yang disebutkan oleh Ketua PWNU Jatim, menurut Pangdam Brawijaya itu, bukanlah kasus suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), melainkan kerusuhan massal biasa. "Yang ditemukan di Malang, di Sengkaling, di Ponorogo, dan yang di Lumpang adalah kerusuhan massal, bukan SARA," katanya menjelaskan. Soal Kerusuhan Situbondo, menurut dia, murni spontan. Meski semula mereka sempat mengira-ngira ada yang mengendalikan, hingga kini hal itu tak terbukti. Imam Oetomo menyadari, masyarakat yang tidak puas dengan pelayanan pemerintah daerah atau tindakan aparat keamanan sudah ada sejak dulu. Kelompok itulah yang mudah disulut.
Analisa yang menyebut Operasi Naga Hijau bukanlah satu-satunya yang mencoba menjelaskan ihwal kerusuhan di sejumlah tempat belakangan ini. Presiden Soeharto sendiri menyatakan satu teori lain. "Meletusnya berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti di Situbondo dan Tasikmalaya, adalah usaha sekelompok kecil tertentu yang ingin menciptakan instabilitas," katanya ketika menerima pengurus Induk Koperasi Pondok Pesantren, Jumat pekan lalu, 17 Januari.
Karena kecil, cara-cara yang dilakukan kelompok-kelompok itu adalah dengan menghasut, memanfaatkan setiap kesempatan, membesar-besarkan kesenjangan, korupsi, pungutan liar, masalah antaragama, serta masalah dalam agama. "Ini yang betul-betul harus diwaspadai. Mereka rupanya ada yang mempunyai pikiran dan keinginan mewujudkan strategi Mao Ze-dong dulu," kata Presiden Soeharto.
Kepala negara lalu bercerita: untuk mengalahkan Kuomintang, Mao Ze-dong menggunakan teori kota-desa. Dengan teori itu, mereka mengacau desa, kemudian mengacau kota; atau menguasai desa, kemudian baru menguasai kota dan merebut kekuasaan. Karena itu, Presiden Soeharto mengajak para santri di pondok pesantren agar selalu waspada karena kerusuhan maupun surat selebaran akan selalu ada. Dalam kesempatan itu pun Presiden Soeharto meminta jangan membesar-besarkan kesenjangan sosial.
Ada yang meragukan teori Presiden Soeharto tersebut. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Amien Rais mengaku agak susah menerima adanya penerapan teori Mao Ze-dong. "Menurut saya, ini adalah versi baru dari teori lama tentang sepak terjang Partai Komunis Indonesia. Tapi, sebagai akademisi, saya tak akan menerima itu begitu saja," kata pakar politik dari Universitas
Gadjah Mada itu.
Amien lebih setuju masalah itu tersulut karena kesenjangan sosial-ekonomi. Karena itu, dia mendukung imbauan Presiden Soeharto agar masalah kesenjangan tersebut jangan dibesar-besarkan sehingga bisa memancing emosi warga. Tapi, katanya, "Diskusi tentang masalah itu, baik di televisi, seminar, atau media massa, harus dilakukan secara proporsional, terbuka, dan jujur, sehingga kita selalu mengingat bahwa masalah itu tetap ada."
Memang, hal yang ditutup-tutupi malah akan menimbulkan pernyataan yang bukan-bukan. Membicarakan segala sesuatu secara terbuka, tapi proporsional, tampaknya merupakan salah satu jalan terbaik guna menyelesaikan masalah. Bila itu dilakukan, tak perlu ada Naga Hijau segala, yang antara ada dan tiada itu.
Zed Abidien dan Abdul Manan
D&R, Edisi 970125-023/Hal. 14 Rubrik Peristiwa & Analisa
KERUSUHAN Situbondo dan Tasikmalaya sudah usai hampir sebulan lampau, namun pembicaraan tentangnya masih juga belum usai. Belakangan, disebut-sebut apa yang dinamakan Operasi Naga Hijau, yang diduga melakukan pancingan-pancingan agar warga Nahdlatul Ulama (NU) di beberapa tempat marah dan melakukan aksi massal.
Mengapa NU? Kecurigaan itu bisa dimengerti karena kerusuhan tersebut terjadi di dua daerah yang merupakan basis NU. Dalam Insiden Situbondo, Jawa Timur (Jatim), tanggal 10 Oktober lalu, rakyat Situbondo yang kebanyakan warga NU berasal dari Madura tergerak karena tak puas setelah Saleh, seorang yang menghina agama Islam, hanya dituntut lima tahun. Akibatnya, 56 gedung terbakar (24 di antaranya gereja) dan lima orang mati terpanggang. Akan halnya di Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar) kerusuhan tanggal 26 Desember lalu berawal dari aksi pemukulan beberapa polisi terhadap K.H. Mahmud Farid, guru di Pondok Pesantren Riadulum wal Dakwah. Akibatnya lebih dahsyat lagi. Lebih dari 70 bangunan dan 107 kendaraan terbakar dan empat orang meninggal karenanya.
Kejadian hampir beruntun di gudang NU itu membuat Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid mengambil langkah-langkah cepat. Ketika Situbondo meletus, Gus Dur, yang saat itu sedang berada di Roma untuk suatu acara diskusi keagamaan, segera mengirim faksimile ke media-media massa. Isinya: permintaan maaf karena kejadian di Situbondo itu hampir dipastikan akan melibatkan warga NU. Belakangan, setelah tim pencari fakta dari Gerakan Pemuda Ansor bergerak, ada beberapa indikasi bahwa kasus itu direkayasa oleh beberapa pihak.
Kemudian terjadi lagi kasus Tasikmalaya. Aksi tersebut membuat kiai unik itu sibuk berkeliling ke mana-mana untuk menjelaskan posisi NU. Dalam kasus Tasikmalaya memang salah seorang yang disangka sebagai dalang kini sedang dikejar. Kabarnya, ia adalah Sekretaris Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tasikmalaya, sebuah organisasi kemasyarakatan pemuda NU. "Tapi, semua tingkahnya adalah atas nama pribadi dan tak pernah dilaporkan dalam rapat," ujar Gus Dur. Ia lalu mengingatkan bahwa di samping Mimih, Sekretaris PMII itu, masih ada tokoh dari organisasi yang lain yang tak pernah disebut-sebut oleh aparat keamanan.
Ihwal Naga Hijau menjadi berita nyata ketika Ketua PWNU Jatim K.H. Hasyim Muzadi secara mengagetkan menyebutkan dengan jelas info tersebut. "Kami telah menemukan lima pancingan yang disebut Operasi Naga Hijau yang berusaha mengaduk-aduk warga NU di Jatim," katanya kepada wartawan Kantor Berita Antara dalam acara berbuka puasa dengan Gubernur Jatim Basofi Soedirman dan para ulama NU, Kamis pekan lalu, 16 Januari, di Surabaya.
Pancingan itu, menurut Kiai Hasyim, ditemukan di sebuah pondok di Ponorogo, dua buah di Malang (di Sengkaling, Kecamatan Dau; dan Wringinanom, Kecamatan Tumpang), Kediri, dan Blitar. "Semua sasaran pancingan adalah warga NU dengan tujuan merusak bangsa ini," kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Alhikam, Malang, itu.
Cara pancingan yang digunakan berbeda-beda. Di Ponorogo, misalnya, tiba-tiba timbul isu bahwa di Pondok Kiai Maghfur ada santri putri yang diperkosa di terminal. Isu itu mulanya sempat memancing para santri lainnya untuk menyerbu terminal. "Untungnya, kami memiliki kontak dengan Kiai Maghfur dan beliau segera menginformasikannya kepada kami, sehingga isu itu dapat diredam dan tak sampai meledak," kata kiai yang ikut sibuk saat Peristiwa Situbondo meletus itu.
Di Kediri, kerusuhan juga hampir terjadi. "Berawal dari seorang pamong desa yang digerebek warga kampung karena suka main perempuan," cerita Fuad Anwar, Sekretaris PWNU Jatim. Saat dikejar, si pamong terperosok dalam lubang pembuat batu bata. Karena luka-luka, ia malah melaporkan pengejaran itu ke polisi; dan sejumlah warga ditahan polisi. Warga kemudian memprotes ke polsek setempat dan peristiwa itu bisa segera didinginkan.
Soal tanah wakaf untuk masjid di Sengkaling dan Wringinanom adalah pencetus calon kerusuhan berikutnya. Semula, kasus lama itu adalah murni kasus perdata. "Tapi, entah mengapa ahli waris pemberi tanah wakaf itu tiba-tiba meminta tanahnya kembali," kata Fuad. Kemudian, ada yang meniupkan bahwa ahli waris itu beragama Kristen. Tindakan itu memancing kemarahan jamaah masjid, namun sekali lagi dapat dikendalikan.
Akan halnya di Blitar, isu yang beredar adalah terjadi penganiyaan terhadap tenaga penuh waktu NU setempat oleh pemuda yang kemudian lari ke terminal. Anak-anak muda warga NU itu kemudian melabrak para pemuda di terminal. Untungnya, meski sudah terjadi bentrokan, persoalannya tidak meledak dan membesar.
Operasi Naga Hijau, menurut Hasyim Muzadi, punya sasaran agar massa NU terpancing dan marah. Jika mereka, yang jumlahnya tak sedikit, itu sudah marah, akan mudah sekali "ditunggangi" dengan massa yang lebih besar yang memiliki tujuan atau kepentingan lain. Massa itu tak akan diketahui karena kesalahan akan ditimpakan ke warga NU. Itu memang baru sebuah analisa.
"Hal inilah yang terjadi di Tasikmalaya beberapa waktu lalu. Jadi, otak dari operasi memancing munculnya emosi massa NU. Bila sudah muncul, dapat ditumpangi dengan mudah untuk kepentingan-kepentingan lain," ujarnya.
Namun, analisa itu tampaknya bisa diterima. Menurut Fuad Anwar, tingkat pendidikan warga NU yang masih rendah membuat mereka cenderung menggunakan ototnya ketimbang akalnya. Karena itu, ia wanti-wanti kepada warganya agar meningkatkan kewaspadaan. "Jika terjadi hal-hal seperti itu, segeralah melakukan cek kepada pengurus NU setempat atau langsung kepada pengurus NU tingkat Jatim," katanya.
Akan tetapi, andai itu benar, bagaimana sampai ada nama jelas: Naga Hijau? Ketua PBNU Abdurrahman Wahid sendiri, konon, yang melontarkannya dalam beberapa kesempatan. Ketika menghadiri ulang tahun artis Yenny Rachman, Sabtu lalu, 18 Januari, misalnya, ia menegaskan bahwa Operasi Naga Hijau, yang sudah bergerak di Jatim dan Jabar, sekarang sedang bergerak menuju daerah Jawa Tengah, seperti Tegal, Pekalongan, dan Pemalang yang juga merupakan daerah basis NU. Saat itu, Gus Dur mengatakan bahwa tujuannya mengeluarkan pernyataan tersebut agar basis-basis NU yang kini menjadi sasaran itu mempertinggi kewaspadaan.
Pendapat kiai yang kerap bikin berita itu kontan menyulut reaksi. Warga NU sendiri ada yang menganggap beberapa pancingan yang disebutkan dalam Operasi Naga Hijau itu murni kasus perdata biasa. Namun, seorang sumber dari NU Jatim lainnya yakin bahwa Operasi Naga Hijau itu benar-benar terjadi. Tujuannya? Memecah-belah warga NU agar 30 juta warga NU itu tak solid mendukung organisasi politik tertentu dalam pemilihan umum nanti. Bagaimanapun, yang dikatakan sumber NU yang tak mau disebut identitasnya itu tergolong analisa dan belum fakta. Jadi, bisa benar, kemungkinan pula keliru.
Yang cenderung menganggap keliru antara lain Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal R. Hartono. "Tanyakan saja kepada Gus Dur," ujar KSAD Jenderal Hartono ketika ditanya tentang pendapat Gus Dur itu. Juga Pangdam Diponegoro Mayjen Soebagyo H.S. mengaku tidak tahu apa yang dimaksud Gus Dur. Karena itu, ia minta agar Gus Dur menjelaskan hal tersebut.
Adapun Pangdam Brawijaya Mayjen Imam Oetomo menegaskan bahwa Operasi Naga Hijau tidak ada. "Saya kira semua orang sudah menyadari bahwa selama ini tidak ada yang mau memojokkan NU. Itu terbukti tidak ada," katanya, tegas.
Soal lima pancingan yang disebutkan oleh Ketua PWNU Jatim, menurut Pangdam Brawijaya itu, bukanlah kasus suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), melainkan kerusuhan massal biasa. "Yang ditemukan di Malang, di Sengkaling, di Ponorogo, dan yang di Lumpang adalah kerusuhan massal, bukan SARA," katanya menjelaskan. Soal Kerusuhan Situbondo, menurut dia, murni spontan. Meski semula mereka sempat mengira-ngira ada yang mengendalikan, hingga kini hal itu tak terbukti. Imam Oetomo menyadari, masyarakat yang tidak puas dengan pelayanan pemerintah daerah atau tindakan aparat keamanan sudah ada sejak dulu. Kelompok itulah yang mudah disulut.
Analisa yang menyebut Operasi Naga Hijau bukanlah satu-satunya yang mencoba menjelaskan ihwal kerusuhan di sejumlah tempat belakangan ini. Presiden Soeharto sendiri menyatakan satu teori lain. "Meletusnya berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti di Situbondo dan Tasikmalaya, adalah usaha sekelompok kecil tertentu yang ingin menciptakan instabilitas," katanya ketika menerima pengurus Induk Koperasi Pondok Pesantren, Jumat pekan lalu, 17 Januari.
Karena kecil, cara-cara yang dilakukan kelompok-kelompok itu adalah dengan menghasut, memanfaatkan setiap kesempatan, membesar-besarkan kesenjangan, korupsi, pungutan liar, masalah antaragama, serta masalah dalam agama. "Ini yang betul-betul harus diwaspadai. Mereka rupanya ada yang mempunyai pikiran dan keinginan mewujudkan strategi Mao Ze-dong dulu," kata Presiden Soeharto.
Kepala negara lalu bercerita: untuk mengalahkan Kuomintang, Mao Ze-dong menggunakan teori kota-desa. Dengan teori itu, mereka mengacau desa, kemudian mengacau kota; atau menguasai desa, kemudian baru menguasai kota dan merebut kekuasaan. Karena itu, Presiden Soeharto mengajak para santri di pondok pesantren agar selalu waspada karena kerusuhan maupun surat selebaran akan selalu ada. Dalam kesempatan itu pun Presiden Soeharto meminta jangan membesar-besarkan kesenjangan sosial.
Ada yang meragukan teori Presiden Soeharto tersebut. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Amien Rais mengaku agak susah menerima adanya penerapan teori Mao Ze-dong. "Menurut saya, ini adalah versi baru dari teori lama tentang sepak terjang Partai Komunis Indonesia. Tapi, sebagai akademisi, saya tak akan menerima itu begitu saja," kata pakar politik dari Universitas
Gadjah Mada itu.
Amien lebih setuju masalah itu tersulut karena kesenjangan sosial-ekonomi. Karena itu, dia mendukung imbauan Presiden Soeharto agar masalah kesenjangan tersebut jangan dibesar-besarkan sehingga bisa memancing emosi warga. Tapi, katanya, "Diskusi tentang masalah itu, baik di televisi, seminar, atau media massa, harus dilakukan secara proporsional, terbuka, dan jujur, sehingga kita selalu mengingat bahwa masalah itu tetap ada."
Memang, hal yang ditutup-tutupi malah akan menimbulkan pernyataan yang bukan-bukan. Membicarakan segala sesuatu secara terbuka, tapi proporsional, tampaknya merupakan salah satu jalan terbaik guna menyelesaikan masalah. Bila itu dilakukan, tak perlu ada Naga Hijau segala, yang antara ada dan tiada itu.
Zed Abidien dan Abdul Manan
D&R, Edisi 970125-023/Hal. 14 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments