Sidiq Meninggal Membawa Misteri

Seorang terdakwa kasus Situbondo meninggal. Dari kondisi fisiknya, diduga karena mengalami siksaan selama penyidikan, namun dibantah oleh aparat militer. Kasus itu masih dilingkupi misteri.

ACHMAD SIDIQ, 26 tahun, kini tak bisa lagi membela diri. Lelaki bertubuh kecil yang dituduh sebagai penggerak Kerusuhan Situbondo pada 10 Oktober lalu itu malah belum sempat menjejakkan kaki di ruang pengadilan. Sementara berkas perkaranya masih disusun, Jumat dini hari lalu, 6 Desember, Ketua Perguruan Pencak Silat Pagar Nusa Ranting Desa Curahcotok itu meninggal dunia.

Kematian Sidiq--yang bersama Musawi dan Mohammad Saleh dianggap bertanggung jawab terhadap insiden yang merusakkan 56 bangunan dan menewaskan lima jiwa itu--mengagetkan keluarga dan pengacaranya. Soalnya, sejak ditangkap oleh petugas Muspika Kapongan di rumahnya pada waktu subuh, 11 Oktober lalu, untuk beberapa lama keluarganya tak bisa menjenguknya.

Baru 17 November lalu keluarganya mengetahui kondisinya setelah ia dirawat di RSUD Situbondo. Saat itu, Sidiq dalam keadaan tak sadarkan diri. Kepalanya juga sering diserang rasa nyeri. "Akibatnya, ia kerap menjerit histeris. Ia minta agar kepalanya ditekan karena sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di kepalanya," kata seorang sumber D&R. Kondisi fisiknya pun mengenaskan. Mata kanannya ada bekas luka, hidung atas melesak ke dalam, dan lengan kiri ada bekas sundutan rokok.

Baru di sanalah keluarga dan pengacaranya tahu perlakuan yang diterima anak pertama dari dua bersaudara itu. Menurut cerita Sidiq ketika ditahan, dari rumahnya, ia ditahan bersama 53 orang lainnya di kodim. Sejak diangkut, ia terus dihajar oleh tujuh petugas. Ia disuruh mengaku ikut merencanakan dan menggerakkan perusakan gereja. Rupanya, namanya tersangkut berdasarkan laporan Musawi. Belakangan, Musawi mengaku pengaduan tersebut terpaksa dilakukannya karena ia sendiri disiksa, toh Sidiq tetap ditahan. Bersama Musawi dan Mohammad Saleh, Sidiq dituduh polisi telah melanggar Pasal 338 (pembunuhan), Pasal 170 (penggunaan kekerasan), dan Pasal 160 KUHP (menghasut).

Sidiq, jebolan kelas 2 SMA Ibrahimi, menolak tuduhan tersebut. Ia kemudian ditelanjangi dan badannya direbahkan dengan tangan terikat. Saat itu, cerita guru silat yang punya 350 murid itu, petugas akan menyeretnya dengan truk. Ancaman itu dikeluarkan karena Sidiq menolak ketika petugas akan memotong rambutnya dan meminta "jimat" dari bambu yang disimpan di balik celananya. Itulah yang dipercaya petugas sebagai piranti yang membuat Sidiq punya ilmu kekebalan tubuh. Guru mengaji yang rajin tirakat itu memang dikenal punya elmu. Sudah jadi rahasia umum kalau sebagian besar tentara Batalyon 514 Situbondo yang akan berangkat tugas ke Timor Timur meminta elmu kekebalan kepadanya.

Karena disiksa, laki-laki yang juga petani itu mengabulkan permintaan aparat. Merasa di atas angin, petugas lalu menghajar Sidiq dengan 20 pentungan kayu dan enam batang besi. Menurut cerita Sidiq, yang paling rajin memukulnya adalah seorang petugas Koramil Kapongan bernama Warnoto. Rupanya, tindakan Sidiq yang sempat menulis surat ancaman ke Kapolsek Kapongan untuk memberantas judi dadu telah membuat sewot Warnoto, salah satu bandar judi dadu di Desa Curahcotok.

Hanya sehari Sidiq ditahan di kodim. Esoknya, ia dibawa ke kantor Polres Situbondo, namun siksaan tak kunjung berhenti. Yang "memeriksa" adalah tim gabungan dari Kodam Brawijaya, Polda Jawa Timur, Polwil Besuki, dan lain-lain. Rupanya, fisik lelaki bertubuh kecil itu tak cukup kuat. Maka, ia pun diungsikan ke RSUD Situbondo.

Yang membuat istrinya, Suryati--yang sedang hamil enam bulan--dan kedua orang tuanya ngenes adalah ketika di rumah sakit pun Sidiq tetap diborgol. Borgol itu kemudian dikaitkan dengan tangan istrinya. Alat itu baru dilepaskan setelah pengacaranya, Saiful A. Aswan, berbicara dengan Kapolres Situbondo, dengan memperlihatkan kondisi fisik Sidiq yang sudah lemah. Saat itu, Sidiq sering mengigau: "Saya tidak bersalah. Saya bukan penjahat, kok, diborgol? Saya ingin moleh (pulang)."

Kondisi Sidiq terus menurun. Rabu siang, 4 Desember lalu, ia tak sadarkan diri lagi. Selang-selang obat dan makanan malang-melintang di tubuhnya. Esoknya, Saiful--satu dari lima pengacara yang ditunjuk untuk membela para terdakwa kasus Situbondo--membawa Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Situbondo Abdul Fatah membesuk Sidiq. "Maksud saya agar berkas perkara Sidiq yang belum lengkap dipisah dari berkas lainnya sehingga Musawi dan Mohammad Saleh, yang saat ini tetap ditahan di polres, bisa segera disidangkan," kata Saiful.

Ternyata, sebelum pemisahan berkas terjadi, Sidiq sudah keburu meninggal. Menurut dr. Wahyu Sasono, spesialis saraf di RSUD Situbondo, Sidiq meninggal karena infeksi otak akibat virus di lambung yang menjalar ke tenggorokan dan akhirnya lari ke otak. Memang, sebelum dijemput petugas, keluarganya mengetahui bahwa Sidiq mengidap sakit mag dan sudah beberapa kali berobat ke dokter. "Tapi ketika dijemput, ia masih dalam keadaan sehat," kata seorang keluarga korban. Keluarga itu juga tak percaya infeksi otak bisa mengubah fisik Sidiq, seperti hidung melesak dan mata kanan luka.

Keluarganya menyesalkan penanganan rumah sakit dalam kasus tersebut. Misalnya, pihak rumah sakit menolak membuat foto rontgen kepala Sidiq, padahal keluarganya menduga kematian Sidiq karena benturan keras pada kepalanya.

Namun, Kapolres Situbondo Letkol Endro Agung membantah kematian Sidiq karena dianiaya petugas. "Menurut keterangan dr. Wahyu Sasono sebab kematian adalah gagalnya pernapasan akibat kelainan pusat pernapasan. Itu semua karena infeksi susunan saraf otak di sumsum belakang," kata Endro sambil memperlihatkan surat keterangan dokter. Memang, diagnosis tersebut hanya berdasarkan pemeriksaan luar karena keluarga korban tak sanggup membayar biaya untuk mengotopsi jenazah Sidiq.

Soal siksaan di kodim dan polres, seperti yang dituduhkan keluarga korban, dibantah Kapolres Letkol Endro. Ia juga membantah tuduhan bahwa polisi melarang Sidiq dijenguk keluarganya. "Ketika diperiksa memang tidak boleh, tapi sesudahnya, silakan dijenguk," ujar Endro.

Dengan meninggalnya Sidiq, otomatis gugurlah tuduhan kepadanya. Yang tersisa tinggallah 53 tersangka lainnya. Namun, janji Kapolres Situbondo yang akan menyidangkan kasus itu mulai awal Desember tampaknya masih jauh dari harapan. Sampai saat ini, lima pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Insiden 10 Oktober baru mendapat kuasa dari 31 tersangka, itu pun belum selesai-selesai.

Kabarnya, mereka malah akan mengundurkan diri karena merasa tidak bisa membela kepentingan kliennya. Mereka, misalnya, tidak diberi kesempatan mendampingi terdakwa ketika disidik petugas. Selain itu, kabarnya, sudah ada kompromi antara hakim, jaksa, dan pengacara agar, bila sidang jadi dilangsungkan, pengacara tak boleh bertanya macam-macam. Jika kesepakatan tersebut dilanggar, pengacara itu tak akan diperpanjang izin prakteknya. "Saya memang sedang berpikir untuk mengundurkan diri karena tidak bisa berbuat maksimal untuk membela tersangka," ujar Saiful.

Kematian Sidiq tak hanya membuat sedih keluarganya, tapi juga para ulama di Situbondo. Pada saat pemakamannya, Jumat lalu, hadir sejumlah ulama terkemuka di sana, seperti K.H. Sofyan (Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Situbondo), K.H. Saifullah Saleh (Ketua Majelis Ulama Indonesia-Situbondo), dan K.H. Fawaid (putra K.H. As'ad Syamsul Arifin). Selain mereka, turut hadir Kapolres Letkol Endro Agung, sedangkan Komandan Kodim Jember Letkol Imam Prawoto hadir saat tahlilan. Dalam sambutannya, ia minta agar keluarga Sidiq tabah. "Jangan terpancing dengan pihak ketiga," kata sumber D&R menirukan ucapan Dandim Jember. Kalimat serupa juga dikatakan Kapolres Jember pada saat pemakaman.

Siapa pihak ketiga yang dimaksud? Keluarga Sidiq pun hingga kini bertanya-tanya. Insiden Situbondo memang meninggalkan banyak misteri. Hasil penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada awal November lalu tak menyebutkan penyebab terjadinya kerusuhan yang merebak dalam radius beberapa puluh kilometer dalam waktu singkat itu. Karena misteriusnya kasus tersebut, Th.Sumartana, Direktur Interfidei, Yogya, menyebutnya sebagai missing link yang tak bisa dijelaskan. Pangdam V/Brawijaya Mayjen Imam Utomo dan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid sempat mengatakan bahwa kasus itu direkayasa dan direncanakan dua hari sebelumnya. Namun, setelah itu tak ada komentar lagi dari kedua pejabat tersebut mengenai kasus itu.

Tampaknya, kematian Sidiq masih ada kaitannya dengan kemisteriusan kasus tersebut. Kapendam Brawijaya Letkol Subagio, yang ditanya tentang kasus itu, hanya menjawab singkat bahwa Sidiq meninggal karena sakit, berdasarkan visum dokter. "Kata siapa dia disiksa? Menurut keterangan dokter, kan jelas karena sakit," katanya kepada Abdul Manan dari D&R.

Zed Abidien (Situbondo)

D&R, Edisi 961214-018/Hal. 16 Rubrik Peristiwa & Analisa

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO