Militer dan Intel Mengintai di Kampus
Dengan alasan keamanan, aparat keamanan kini makin berani masuk kampus untuk membubarkan aksi demo mahasiswa. Padahal, tanggung jawab pengelolaan ada di tangan rektor.
MALANG nian nasib para mahasiswa Indonesia saat ini. Di dalam kampus sendiri pun, mereka tak bisa berlaku bebas. Arena untuk debat pendapat dan melontarkan pemikiran kritis kini sulit diadakan karena hampir selalu dibubarkan. Yang membubarkan bukan rektor, sebagai pemegang kendali kampus, tapi aparat militer.
Kondisi itu rupanya tak dapat diterima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Mungkin karena merekalah yang tampaknya paling sering mengalami perlakuan aparat keamanan. Sebelum meletusnya Peristiwa 27 Juli di Jakarta, hampir setiap minggu, kampus di Bulaksumur itu dipenuhi dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang mengangkat isu lokal, nasional, maupun internasional. Tapi, sebagian besar aksi itu dibubarkan aparat keamanan yang menyerbu ke dalam kampus.
Tindakan polisi antihuru-hara dan tentara tersebut makin menjadi setelah meledaknya Peristiwa 27 Juli. Biasanya, aparat militer hanya menahan pentolan-pentolan aktivis yang melakukan aksi unjuk rasa dan ditahan sehari-semalam tanpa kekerasan. Tapi, dalam aksi keprihatinan terhadap Peristiwa 27 Juli lalu, mereka juga menahan para penontonnya. Dua mahasiswa dan tiga aktivis Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta, yang saat itu sedang menonton, diciduk dan disiksa agar mengaku sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik dan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi. Siksaan itu telah membuat wajah mereka bengep.
Delapan aktivis Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta yang menyelenggarakan aksi mimbar bebas pun mengalami nasib nahas serupa. Dan, kasus yang terakhir adalah aksi demonstrasi menentang penggerebekan percetakan majalah Suara Independen, 7 November lalu. Baru dua menit Haris Sitorus, mahasiswa Administrasi Negara Fisipol UGM berbicara di hadapan 40 mahasiswa di depan kantor rektor, aparat keamanan berpakaian preman menyerbu dan membubarkan para peserta yang lari kucar-kacir. Di sekitar kantor rektor itu, Haris pun diringkus oleh 10 aparat militer.
Karena tindakan-tindakan itu, Senin dua pekan lalu, 18 November, ratusan mahasiswa melakukan protes kepada pimpinannya, Rektor UGM Sukanto Reksohadiprodjo. Sambil membawa berbagai poster, mereka menuntut janji rektornya untuk tidak menggunakan militer dalam mengatasi persoalan di kampus. Mereka menganggap rektor itu tidak akomodatif. Buktinya, ketika terjadi penggerebekan dalam kasus Haris di atas, ia malah menonton dari kantornya di lantai dua. Ketika ditanya wartawan tentang sikap diamnya itu, Rektor UGM menyatakan bahwa mereka bukan mahasiswa UGM. Belakangan, pendapatnya berubah lagi. "Saya tidak tahu mereka adalah mahasiswa UGM karena mereka tidak menggunakan nama UGM," katanya kepada D&R.
Soal militer yang masuk kampus, Sukanto yang menjawab tuntutan mahasiswa sambil duduk di tangga balairung itu mengatakan sembari tersenyum bahwa ia tak pernah mengundang militer masuk ke dalam lingkungan UGM. "Aparat militer datang sendiri karena selebaran yang dibuat mahasiswa," ujarnya. Padahal, selebaran yang berisi kecaman terhadap pemerintah Orde Baru, yang dikatakan menghambat demokrasi, itu baru disebarkan pada saat aksi berlangsung.
Ia, katanya, telah mengupayakan lewat telepon agar militer tidak masuk. Tapi, selebaran itu membuatnya tak bisa menahan mereka. Karena itu, untuk mencegah agar insiden seperti itu tak terulang kembali, Sukanto menyarankan para mahasiswa supaya memberitahukan setiap aksinya kepada senat mahasiswa dan pembantu rektor III. "Dengan demikian, bisa diberi perlindungan," katanya.
Intervensi aparat keamanan dalam berbagai bentuk sebenarnya tak hanya terjadi di kampus Bulaksumur. Di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, sempat juga aparat militer masuk dalam kampus, walaupun tak sesering di Yogya. Seingat Moh. Adnan Anwar, salah seorang aktivis di sana, aparat militer pernah masuk kampusnya saat terjadi pembredelan tabloid Dialog dari FISIP Unair, saat ada mimbar bebas mendukung Megawati dan saat kehadiran Sri Bintang Pamungkas dalam acara Hari Hak Asasi Manusia tahun lalu.
Adapun di Institut Teknologi Surabaya, menurut ketua senatnya, Herwan Febriyadi, baru sekali aparat militer mencoba membubarkan acara mahasiswa. Itu terjadi pada malam sebelum diadakannya diskusi tentang 50 tahun Indonesia merdeka, yang antara lain menghadirkan Sri Bintang Pamungkas dan Marsilam Simanjuntak, Agustus lalu. Ternyata, ada aparat yang mengendarai 10 motor trail berputar-putar di depan ruang diskusi. "Masuknya militer secara terang-terangan di kampus memang belum pernah. Tapi, kalau intel hampir selalu bisa ditemui kalau ada acara diskusi, terutama diskusi politik yang mempertanyakan kebijakan pemerintah, mimbar bebas untuk aksi solidaritas, dan lain-lain," kata Herwan.
Masalah intel juga mengganggu kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat. Bagi Rizal, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Sastra UI, ulah intel-lah yang membuat rencana demonstrasi tentang Adi Andojo yang akan dilakukan beberapa waktu lalu sudah bocor sebelum terlaksana. Para mahasiswa tak bisa meneruskan aksi itu karena jalan sudah dibarikade oleh aparat keamanan bersama resimen mahasiswa. "Kami selalu kecolongan oleh intel kampus. Malah, ada kecenderungan intel kampus menjadi aktivis pergerakan juga dan memakai jubah mahasiswa. Teknik mereka sudah sedemikian canggih, sampai-sampai kami saling curiga di antara kawan," ujarnya.
Kehadiran militer dan intel itu tampaknya membuat kehidupan kampus menjadi tak sehat. Namun, intervensi militer yang paling fatal terjadi ketika mereka masuk kampus Universitas Muslim Indonesia di Ujungpandang, untuk menangani aksi demonstrasi mahasiswa dalam menolak kenaikan tarif pete-pete (angkutan kota). Penanganan yang kebablasan itu--12 anggota ABRI sudah diseret ke Mahkamah Militer--menyebabkan meninggalnya tiga mahasiswa, ratusan lainnya luka-luka, dan beberapa bagian kampus hancur. Insiden Ujungpandang itu menyebabkan mahasiswa marah dan menggelar aksi solidaritas di dalam kampusnya maupun ke jalan-jalan. Umumnya, aksi itu ditangani aparat militer dengan tangan besi.
Ekses-ekses seperti di atas tak mempengaruhi sikap beberapa rektor. Bagi Sukanto, tidak ada tempat bagi aksi demonstrasi mahasiswa di kampus. "Kalau mau demonstrasi di luar kampus. Sebab, kampus adalah tempat kegiatan ilmiah," ujarnya. Bila mahasiswa merasa punya masalah dalam kehidupan bernegara atau kehidupan kampus, cara penyalurannya, ya, harus lewat seminar atau diskusi-diskusi ilmiah, bukan dengan mimbar bebas.
Rektor itu malah menuduh mahasiswa telah membalik-balikkan pengertian kebebasan mimbar dengan mimbar bebas. "Mereka itu pahlawan kesiangan," ujarnya. Adalah hak dan tugas aparat militer untuk masuk kampus jika mereka merasa kampus terancam keamanannya. Dengan pola pikir seperti itu, tak mengherankan bila Sukanto bersama Rektor Universitas Katolik Atmajaya, Institut Agama Islam Negeri, dan Institut Seni Indonesia pada awal tahun 1996 lalu mengirim surat ke Polwil (sekarang berubah menjadi Polda) Yogyakarta: meminta bantuan aparat keamanan untuk membubarkan setiap aksi demonstrasi mahasiswa di kampusnya. Surat kontroversial itu kemudian menyulut aksi demo di empat kampus terkemuka di Yogya tersebut.
"Dia tak pantas menjadi rektor. Masak, membiarkan mahasiswanya dipukul dan ditahan di dalam kampus UGM?" kata salah seorang aktivis. Mereka lalu membanding-bandingkannya dengan rektor sebelumnya, Kusnadi Hardjasumantri, yang memberi kelonggaran ke mahasiswa untuk menyuarakan pemikiran-pemikiran mereka, termasuk memberi izin untuk aksi demonstrasi. Namun, tindakan Sukanto didukung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro. "Bila ada alasan yang jelas, militer boleh saja masuk kampus. Tidak ada satu pun warga negara yang kebal hukum di mana pun ia berada," ujarnya.
Menurut Wardiman, kebebasan akademis memang dijamin dalam UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional. Tapi, kebebasan akademis lain dengan kebebasan mimbar akademis, lain lagi dengan kebebasan kampus. "Kadar kebebasan dan tanggung jawab seorang ilmuwan akademis yang disampaikan di lingkungan rekan sejawat tidak sama dengan bila ia menyatakan pendapatnya di mimbar umum," ujar Mendikbud, beberapa waktu lalu.
Namun, mantan Rektor UI, Mahar Mardjono, menganggap bahwa kebebasan mimbar di kampus itu amat diperlukan bagi para mahasiswa untuk membiasakan mereka berdiskusi, menghargai perbedaan pendapat, dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. "Hanya, rektornya harus bisa mengelola, jangan sampai menjurus ke hal yang tidak benar," ujarnya. Tampaknya, saat ini ada rektor yang menyerahkan tanggung jawab pengelolaan tersebut ke tangan aparat militer.
Laporan Josephus Primus, R. Fadjri (Yogyakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 961214-018/Hal. 24 Rubrik Pendidikan
MALANG nian nasib para mahasiswa Indonesia saat ini. Di dalam kampus sendiri pun, mereka tak bisa berlaku bebas. Arena untuk debat pendapat dan melontarkan pemikiran kritis kini sulit diadakan karena hampir selalu dibubarkan. Yang membubarkan bukan rektor, sebagai pemegang kendali kampus, tapi aparat militer.
Kondisi itu rupanya tak dapat diterima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Mungkin karena merekalah yang tampaknya paling sering mengalami perlakuan aparat keamanan. Sebelum meletusnya Peristiwa 27 Juli di Jakarta, hampir setiap minggu, kampus di Bulaksumur itu dipenuhi dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang mengangkat isu lokal, nasional, maupun internasional. Tapi, sebagian besar aksi itu dibubarkan aparat keamanan yang menyerbu ke dalam kampus.
Tindakan polisi antihuru-hara dan tentara tersebut makin menjadi setelah meledaknya Peristiwa 27 Juli. Biasanya, aparat militer hanya menahan pentolan-pentolan aktivis yang melakukan aksi unjuk rasa dan ditahan sehari-semalam tanpa kekerasan. Tapi, dalam aksi keprihatinan terhadap Peristiwa 27 Juli lalu, mereka juga menahan para penontonnya. Dua mahasiswa dan tiga aktivis Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta, yang saat itu sedang menonton, diciduk dan disiksa agar mengaku sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik dan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi. Siksaan itu telah membuat wajah mereka bengep.
Delapan aktivis Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta yang menyelenggarakan aksi mimbar bebas pun mengalami nasib nahas serupa. Dan, kasus yang terakhir adalah aksi demonstrasi menentang penggerebekan percetakan majalah Suara Independen, 7 November lalu. Baru dua menit Haris Sitorus, mahasiswa Administrasi Negara Fisipol UGM berbicara di hadapan 40 mahasiswa di depan kantor rektor, aparat keamanan berpakaian preman menyerbu dan membubarkan para peserta yang lari kucar-kacir. Di sekitar kantor rektor itu, Haris pun diringkus oleh 10 aparat militer.
Karena tindakan-tindakan itu, Senin dua pekan lalu, 18 November, ratusan mahasiswa melakukan protes kepada pimpinannya, Rektor UGM Sukanto Reksohadiprodjo. Sambil membawa berbagai poster, mereka menuntut janji rektornya untuk tidak menggunakan militer dalam mengatasi persoalan di kampus. Mereka menganggap rektor itu tidak akomodatif. Buktinya, ketika terjadi penggerebekan dalam kasus Haris di atas, ia malah menonton dari kantornya di lantai dua. Ketika ditanya wartawan tentang sikap diamnya itu, Rektor UGM menyatakan bahwa mereka bukan mahasiswa UGM. Belakangan, pendapatnya berubah lagi. "Saya tidak tahu mereka adalah mahasiswa UGM karena mereka tidak menggunakan nama UGM," katanya kepada D&R.
Soal militer yang masuk kampus, Sukanto yang menjawab tuntutan mahasiswa sambil duduk di tangga balairung itu mengatakan sembari tersenyum bahwa ia tak pernah mengundang militer masuk ke dalam lingkungan UGM. "Aparat militer datang sendiri karena selebaran yang dibuat mahasiswa," ujarnya. Padahal, selebaran yang berisi kecaman terhadap pemerintah Orde Baru, yang dikatakan menghambat demokrasi, itu baru disebarkan pada saat aksi berlangsung.
Ia, katanya, telah mengupayakan lewat telepon agar militer tidak masuk. Tapi, selebaran itu membuatnya tak bisa menahan mereka. Karena itu, untuk mencegah agar insiden seperti itu tak terulang kembali, Sukanto menyarankan para mahasiswa supaya memberitahukan setiap aksinya kepada senat mahasiswa dan pembantu rektor III. "Dengan demikian, bisa diberi perlindungan," katanya.
Intervensi aparat keamanan dalam berbagai bentuk sebenarnya tak hanya terjadi di kampus Bulaksumur. Di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, sempat juga aparat militer masuk dalam kampus, walaupun tak sesering di Yogya. Seingat Moh. Adnan Anwar, salah seorang aktivis di sana, aparat militer pernah masuk kampusnya saat terjadi pembredelan tabloid Dialog dari FISIP Unair, saat ada mimbar bebas mendukung Megawati dan saat kehadiran Sri Bintang Pamungkas dalam acara Hari Hak Asasi Manusia tahun lalu.
Adapun di Institut Teknologi Surabaya, menurut ketua senatnya, Herwan Febriyadi, baru sekali aparat militer mencoba membubarkan acara mahasiswa. Itu terjadi pada malam sebelum diadakannya diskusi tentang 50 tahun Indonesia merdeka, yang antara lain menghadirkan Sri Bintang Pamungkas dan Marsilam Simanjuntak, Agustus lalu. Ternyata, ada aparat yang mengendarai 10 motor trail berputar-putar di depan ruang diskusi. "Masuknya militer secara terang-terangan di kampus memang belum pernah. Tapi, kalau intel hampir selalu bisa ditemui kalau ada acara diskusi, terutama diskusi politik yang mempertanyakan kebijakan pemerintah, mimbar bebas untuk aksi solidaritas, dan lain-lain," kata Herwan.
Masalah intel juga mengganggu kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat. Bagi Rizal, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Sastra UI, ulah intel-lah yang membuat rencana demonstrasi tentang Adi Andojo yang akan dilakukan beberapa waktu lalu sudah bocor sebelum terlaksana. Para mahasiswa tak bisa meneruskan aksi itu karena jalan sudah dibarikade oleh aparat keamanan bersama resimen mahasiswa. "Kami selalu kecolongan oleh intel kampus. Malah, ada kecenderungan intel kampus menjadi aktivis pergerakan juga dan memakai jubah mahasiswa. Teknik mereka sudah sedemikian canggih, sampai-sampai kami saling curiga di antara kawan," ujarnya.
Kehadiran militer dan intel itu tampaknya membuat kehidupan kampus menjadi tak sehat. Namun, intervensi militer yang paling fatal terjadi ketika mereka masuk kampus Universitas Muslim Indonesia di Ujungpandang, untuk menangani aksi demonstrasi mahasiswa dalam menolak kenaikan tarif pete-pete (angkutan kota). Penanganan yang kebablasan itu--12 anggota ABRI sudah diseret ke Mahkamah Militer--menyebabkan meninggalnya tiga mahasiswa, ratusan lainnya luka-luka, dan beberapa bagian kampus hancur. Insiden Ujungpandang itu menyebabkan mahasiswa marah dan menggelar aksi solidaritas di dalam kampusnya maupun ke jalan-jalan. Umumnya, aksi itu ditangani aparat militer dengan tangan besi.
Ekses-ekses seperti di atas tak mempengaruhi sikap beberapa rektor. Bagi Sukanto, tidak ada tempat bagi aksi demonstrasi mahasiswa di kampus. "Kalau mau demonstrasi di luar kampus. Sebab, kampus adalah tempat kegiatan ilmiah," ujarnya. Bila mahasiswa merasa punya masalah dalam kehidupan bernegara atau kehidupan kampus, cara penyalurannya, ya, harus lewat seminar atau diskusi-diskusi ilmiah, bukan dengan mimbar bebas.
Rektor itu malah menuduh mahasiswa telah membalik-balikkan pengertian kebebasan mimbar dengan mimbar bebas. "Mereka itu pahlawan kesiangan," ujarnya. Adalah hak dan tugas aparat militer untuk masuk kampus jika mereka merasa kampus terancam keamanannya. Dengan pola pikir seperti itu, tak mengherankan bila Sukanto bersama Rektor Universitas Katolik Atmajaya, Institut Agama Islam Negeri, dan Institut Seni Indonesia pada awal tahun 1996 lalu mengirim surat ke Polwil (sekarang berubah menjadi Polda) Yogyakarta: meminta bantuan aparat keamanan untuk membubarkan setiap aksi demonstrasi mahasiswa di kampusnya. Surat kontroversial itu kemudian menyulut aksi demo di empat kampus terkemuka di Yogya tersebut.
"Dia tak pantas menjadi rektor. Masak, membiarkan mahasiswanya dipukul dan ditahan di dalam kampus UGM?" kata salah seorang aktivis. Mereka lalu membanding-bandingkannya dengan rektor sebelumnya, Kusnadi Hardjasumantri, yang memberi kelonggaran ke mahasiswa untuk menyuarakan pemikiran-pemikiran mereka, termasuk memberi izin untuk aksi demonstrasi. Namun, tindakan Sukanto didukung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro. "Bila ada alasan yang jelas, militer boleh saja masuk kampus. Tidak ada satu pun warga negara yang kebal hukum di mana pun ia berada," ujarnya.
Menurut Wardiman, kebebasan akademis memang dijamin dalam UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional. Tapi, kebebasan akademis lain dengan kebebasan mimbar akademis, lain lagi dengan kebebasan kampus. "Kadar kebebasan dan tanggung jawab seorang ilmuwan akademis yang disampaikan di lingkungan rekan sejawat tidak sama dengan bila ia menyatakan pendapatnya di mimbar umum," ujar Mendikbud, beberapa waktu lalu.
Namun, mantan Rektor UI, Mahar Mardjono, menganggap bahwa kebebasan mimbar di kampus itu amat diperlukan bagi para mahasiswa untuk membiasakan mereka berdiskusi, menghargai perbedaan pendapat, dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. "Hanya, rektornya harus bisa mengelola, jangan sampai menjurus ke hal yang tidak benar," ujarnya. Tampaknya, saat ini ada rektor yang menyerahkan tanggung jawab pengelolaan tersebut ke tangan aparat militer.
Laporan Josephus Primus, R. Fadjri (Yogyakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 961214-018/Hal. 24 Rubrik Pendidikan
Comments