Kebutaan Membawa Sengsara
Ia dikira tukang santet. Rumah para sanaknya pun dibakar massa. Kakek tua yang buta itupun terpaksa mengasingkan diri ke kantor polisi.
KEBUTAAN sama dengan kutukan. Paling tidak, itu adalah cobaan hidup yang dialami Nawawi--penduduk Desa Mlaten, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ia mungkin sudah mahfum betapa sengsaranya tidak dikaruniai penglihatan normal. Tapi, siapa yang menyangka bahwa kebutaan itu justru yang bakal menyebabkan ia harus mengungsi entah sampai kapan. Padahal, ruang tunggu tahanan Mapolres Pasuruan itu sudah dihuninya satu bulan lebih.
Tanda-tanda kebutaannya sebetulnya telah dirasanya sejak berusia tujuh tahun. Tak jelas apa penyebabnya, ia merasakan penglihatannya mulai kabur. Setahun berikutnya, dunia begitu gelap baginya. Tapi, Nawawi tetap tak ingin menyusahkan orang lain. Ia terus bekerja sampai berusia 72 tahun kini. Setiap hari, Nawawi sebisanya ikut mengurusi bebek, sapi, dan kuda milik anak-anaknya.
Bagi Nawawi, kebutaannya itu tidak membuat geraknya menjadi sangat terbatas. Ia seringkali terlihat sedang menambal klompen dengan paku. Setelah pekerjaannya selesai, Nawawi lantas memasukkan paku-paku itu ke dalam botol-botol yang sesuai dengan ukuran paku. Misalnya, paku yang berukuran besar dimasukkannya ke botol besar. Tentu saja, itu dilakukannya agar ia tak mengalami kesulitan bila hendak mengeluarkannya kembali.
Selain pekerjaan itu, Nawawi seakan merangkap sebagai "orang pintar". Setiap bulan, ada saja warga datang melaporkan kehilangan. Ia kadang-kadang memberikan kemenyan agar kunci kontak dan barang lain yang hilang itu bisa ditemukan. Biasanya, begitu kemenyan dibakar di tempat yang diduga sebagai lokasi hilangnya barang, pemilik barang langsung menemukannya kembali. Tapi, kali lain, Nawawi hanya memberi nasihat kepada "pasiennya" agar pulang saja. Alasannya, barang yang dicari sudah ada atau dikembalikan ke rumah. Dan, apa yang diucapkannya jarang meleset.
Namun, apa yang dikerjakan Nawawi itu ditanggapi berbeda. Tak jelas sebabnya, ia mulai dicurigai warga desa memiliki ilmu santet. Nawawi lantas dituduh membuat daftar nama orang yang akan disantet. Daftar itu termasuk nama orang yang sudah disantet. Kabar burung terus berkembang dari mulut ke mulut. Astaga! Buntutnya, ia dituduh menyantet beberapa orang sampai meninggal. Bahkan, masih menurut kabar burung yang dipercayai warga, tunanetra itu dianggap membunuh kakaknya sendiri, H. Satibi, lima tahun silam.
Tuduhan bagi Nawawi itu semakin santer saja. Apalagi saat itu, Kiai H. Hasan sudah delapan bulan terkulai di ranjangnya. Benjolan yang kadang sebesar kepalan tangan orang dewasa bersarang di leher Pak Kiai. Sepupu Nawawi itu sempat dibawa ke Rumah Sakit Dokter Soetomo, Surabaya, awal Oktober lalu. Tapi, benjolan itu tak kunjung hilang.
Malangnya lagi, Nawawi sempat bicara keceplosan perihal harta warisan H. Satibih. Menurut isu yang beredar, Nawawi sempat menanyakan warisan kakaknya yang meninggal lima tahun silam itu. Pikiran warga semakin aneh-aneh saja. Soalnya, peninggalan tersebut nyatanya ada di tangan Kiai H. Hasan. Dengan dasar itu, apalagi sang kiai tak jua sembuh, warga menduga Nawawi--sekali lagi--menggunakan ilmu santetnya. Padahal, hubungan keduanya sangat akrab. Bila Lebaran, Nawawi selalu dikunjungi sang sepupu.
Akhirnya, pada Kamis malam, 24 Oktober lalu, Nawawi mendengar pengumuman dari pengeras suara sebuah musala. Sepupunya, yang baru 44 tahun, itu meninggal dunia. Bagi Nawawi, ia tak ada waktu untuk mengucapkan belasungkawa. Soalnya, isu penyerbuan ke rumahnya, seandainya kiai itu wafat, keburu sampai ke telinganya.
Ia panik saat sebagian rombongan penduduk Desa Mlaten, Kedawang, dan Sumurlecen tidak langsung menuju ke rumah duka. Merasa bakal menjadi sasaran amukan massa, kelima anaknya berhamburan ke luar untuk menyelamatkan diri. Nawawi sendiri mencoba tak kalah gesit. Tapi sayang, usahanya tak berlanjut. Langkahnya terhenti di pintu depan kediamannya. Ia tercekat mendengar batu, kayu, dan benda keras lainnya menghantami kediamannya.
Nawawi urung menyusul kelima anaknya. Langkahnya terhenti di rumah tetangga sebelahnya. Di sana, ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Kakek itu tidak tahu bahwa massa yang mengamuk semakin brutal. Rumahnya, yang berdekatan dengan kediaman Kiai H. Hasan, terus dihujani kayu dan batu. Bila satu rumah sudah hancur, massa beralih ke bangunan lain. Akibatnya, keempat rumah Nawawi menjadi puing. Malam itu, tak ada yang dapat dilakukan Nawawi. Untungnya, ia sempat diselamatkan aparat keamanan malam itu juga.
Esok siangnya, situasi belum juga dapat dikendalikan. Ketenangan Nawawi sekali lagi diusik. Rumah Nawawi, yang sudah jadi puing itu, kembali menjadi pelampiasan warga. Bangunan permanen itu kembali dirusak massa seusai mereka menghadiri upacara pemakaman Kiai H. Hasan. Saat itu, tidak ada barang yang sempat diselamatkan Nawawi, kecuali pakaian yang dikenakannya. Siang itu juga, ia sudah dipindah dari markas polsek ke markas Polres Pasuruan.
Walaupun duda itu ditemani tujuh anaknya--dua lainnya menyusul belakangan-- keinginannya untuk segera pulang ke rumah tetap ada. Saat itu, ia tak mempedulikan kemarahan warga dan rumahnya yang sudah hancur semalam. Dua hari menginap di sana ia menyatakan ingin pulang. Ia tidak tahu kemarahan warga belum surut. Baru setelah dinasehati Kepala Desa Mlaten, hati Nawawi luluh.
Sang kakek akhirnya sadar amarah warga masih menyala. Sekitar seribu orang yang menghadiri tahlilan seolah masih menyimpan dendam kepadanya. Bahkan, beberapa orang dari mereka tegas-tegas menginginkan kematian Nawawi. Ia mungkin sama bingungnya dengan Dandim Pasuruan dan aparat pemerintah setempat yang hadir saat itu.
Padahal, apa yang selama ini dituduhkan warga tiga desa di Pasuruan itu tidak beralasan. Nawawi tidak menyantet, apalagi membunuh sepupunya sendiri. Benjolan di leher sang pemuka desa itu adalah penyakit kanker yang sudah kronis. Itu, menurut pemeriksaan tim medis Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, adalah yang menjadi penyebab meninggalnya Kiai H. Hasan.
Buntut tuduhan warga sedesa itu tentu membuat keluarga Nawawi terpukul. "Saya sebenarnya ingin minta ganti rugi kepada yang merobohkan rumah kami. Mungkin ini cobaan bagi kami, dan biarlah Tuhan yang membalas perbuatan mereka," kata salah seorang putra Nawawi, Abdul Ma'i, seraya berdoa.
Desakan pulang terus menggayuti pikiran Nawawi saat ini. Tapi, bagaimanapun, ia harus memikirkan keselamatan keluarganya. Dan baginya, tinggal di pengungsian yang dirasa lebih nyaman itu, tetap saja membuatnya tak enak karena membebani polisi di sana.
Kini, hari-hari di pengungsian itu dilewatinya bersama ketujuh anaknya. Tak terlihat gairah terpancar pada diri Nawawi. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk menghisap lintingan Rokok Grendel. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tawaran Bupati Pasuruan untuk bertransmigrasi pun ditolaknya. "Mereka telah menghancurkan masa depan keluarga dan anak-anak saya" ujarnya perlahan. Agaknya, cobaan hidup yang dialami Nawawi dan keluarganya bagaikan sebuah kutukan.
Laporan Mohamad Subroto dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 961207-017/Hal. 86 Rubrik Romantika
KEBUTAAN sama dengan kutukan. Paling tidak, itu adalah cobaan hidup yang dialami Nawawi--penduduk Desa Mlaten, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ia mungkin sudah mahfum betapa sengsaranya tidak dikaruniai penglihatan normal. Tapi, siapa yang menyangka bahwa kebutaan itu justru yang bakal menyebabkan ia harus mengungsi entah sampai kapan. Padahal, ruang tunggu tahanan Mapolres Pasuruan itu sudah dihuninya satu bulan lebih.
Tanda-tanda kebutaannya sebetulnya telah dirasanya sejak berusia tujuh tahun. Tak jelas apa penyebabnya, ia merasakan penglihatannya mulai kabur. Setahun berikutnya, dunia begitu gelap baginya. Tapi, Nawawi tetap tak ingin menyusahkan orang lain. Ia terus bekerja sampai berusia 72 tahun kini. Setiap hari, Nawawi sebisanya ikut mengurusi bebek, sapi, dan kuda milik anak-anaknya.
Bagi Nawawi, kebutaannya itu tidak membuat geraknya menjadi sangat terbatas. Ia seringkali terlihat sedang menambal klompen dengan paku. Setelah pekerjaannya selesai, Nawawi lantas memasukkan paku-paku itu ke dalam botol-botol yang sesuai dengan ukuran paku. Misalnya, paku yang berukuran besar dimasukkannya ke botol besar. Tentu saja, itu dilakukannya agar ia tak mengalami kesulitan bila hendak mengeluarkannya kembali.
Selain pekerjaan itu, Nawawi seakan merangkap sebagai "orang pintar". Setiap bulan, ada saja warga datang melaporkan kehilangan. Ia kadang-kadang memberikan kemenyan agar kunci kontak dan barang lain yang hilang itu bisa ditemukan. Biasanya, begitu kemenyan dibakar di tempat yang diduga sebagai lokasi hilangnya barang, pemilik barang langsung menemukannya kembali. Tapi, kali lain, Nawawi hanya memberi nasihat kepada "pasiennya" agar pulang saja. Alasannya, barang yang dicari sudah ada atau dikembalikan ke rumah. Dan, apa yang diucapkannya jarang meleset.
Namun, apa yang dikerjakan Nawawi itu ditanggapi berbeda. Tak jelas sebabnya, ia mulai dicurigai warga desa memiliki ilmu santet. Nawawi lantas dituduh membuat daftar nama orang yang akan disantet. Daftar itu termasuk nama orang yang sudah disantet. Kabar burung terus berkembang dari mulut ke mulut. Astaga! Buntutnya, ia dituduh menyantet beberapa orang sampai meninggal. Bahkan, masih menurut kabar burung yang dipercayai warga, tunanetra itu dianggap membunuh kakaknya sendiri, H. Satibi, lima tahun silam.
Tuduhan bagi Nawawi itu semakin santer saja. Apalagi saat itu, Kiai H. Hasan sudah delapan bulan terkulai di ranjangnya. Benjolan yang kadang sebesar kepalan tangan orang dewasa bersarang di leher Pak Kiai. Sepupu Nawawi itu sempat dibawa ke Rumah Sakit Dokter Soetomo, Surabaya, awal Oktober lalu. Tapi, benjolan itu tak kunjung hilang.
Malangnya lagi, Nawawi sempat bicara keceplosan perihal harta warisan H. Satibih. Menurut isu yang beredar, Nawawi sempat menanyakan warisan kakaknya yang meninggal lima tahun silam itu. Pikiran warga semakin aneh-aneh saja. Soalnya, peninggalan tersebut nyatanya ada di tangan Kiai H. Hasan. Dengan dasar itu, apalagi sang kiai tak jua sembuh, warga menduga Nawawi--sekali lagi--menggunakan ilmu santetnya. Padahal, hubungan keduanya sangat akrab. Bila Lebaran, Nawawi selalu dikunjungi sang sepupu.
Akhirnya, pada Kamis malam, 24 Oktober lalu, Nawawi mendengar pengumuman dari pengeras suara sebuah musala. Sepupunya, yang baru 44 tahun, itu meninggal dunia. Bagi Nawawi, ia tak ada waktu untuk mengucapkan belasungkawa. Soalnya, isu penyerbuan ke rumahnya, seandainya kiai itu wafat, keburu sampai ke telinganya.
Ia panik saat sebagian rombongan penduduk Desa Mlaten, Kedawang, dan Sumurlecen tidak langsung menuju ke rumah duka. Merasa bakal menjadi sasaran amukan massa, kelima anaknya berhamburan ke luar untuk menyelamatkan diri. Nawawi sendiri mencoba tak kalah gesit. Tapi sayang, usahanya tak berlanjut. Langkahnya terhenti di pintu depan kediamannya. Ia tercekat mendengar batu, kayu, dan benda keras lainnya menghantami kediamannya.
Nawawi urung menyusul kelima anaknya. Langkahnya terhenti di rumah tetangga sebelahnya. Di sana, ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Kakek itu tidak tahu bahwa massa yang mengamuk semakin brutal. Rumahnya, yang berdekatan dengan kediaman Kiai H. Hasan, terus dihujani kayu dan batu. Bila satu rumah sudah hancur, massa beralih ke bangunan lain. Akibatnya, keempat rumah Nawawi menjadi puing. Malam itu, tak ada yang dapat dilakukan Nawawi. Untungnya, ia sempat diselamatkan aparat keamanan malam itu juga.
Esok siangnya, situasi belum juga dapat dikendalikan. Ketenangan Nawawi sekali lagi diusik. Rumah Nawawi, yang sudah jadi puing itu, kembali menjadi pelampiasan warga. Bangunan permanen itu kembali dirusak massa seusai mereka menghadiri upacara pemakaman Kiai H. Hasan. Saat itu, tidak ada barang yang sempat diselamatkan Nawawi, kecuali pakaian yang dikenakannya. Siang itu juga, ia sudah dipindah dari markas polsek ke markas Polres Pasuruan.
Walaupun duda itu ditemani tujuh anaknya--dua lainnya menyusul belakangan-- keinginannya untuk segera pulang ke rumah tetap ada. Saat itu, ia tak mempedulikan kemarahan warga dan rumahnya yang sudah hancur semalam. Dua hari menginap di sana ia menyatakan ingin pulang. Ia tidak tahu kemarahan warga belum surut. Baru setelah dinasehati Kepala Desa Mlaten, hati Nawawi luluh.
Sang kakek akhirnya sadar amarah warga masih menyala. Sekitar seribu orang yang menghadiri tahlilan seolah masih menyimpan dendam kepadanya. Bahkan, beberapa orang dari mereka tegas-tegas menginginkan kematian Nawawi. Ia mungkin sama bingungnya dengan Dandim Pasuruan dan aparat pemerintah setempat yang hadir saat itu.
Padahal, apa yang selama ini dituduhkan warga tiga desa di Pasuruan itu tidak beralasan. Nawawi tidak menyantet, apalagi membunuh sepupunya sendiri. Benjolan di leher sang pemuka desa itu adalah penyakit kanker yang sudah kronis. Itu, menurut pemeriksaan tim medis Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, adalah yang menjadi penyebab meninggalnya Kiai H. Hasan.
Buntut tuduhan warga sedesa itu tentu membuat keluarga Nawawi terpukul. "Saya sebenarnya ingin minta ganti rugi kepada yang merobohkan rumah kami. Mungkin ini cobaan bagi kami, dan biarlah Tuhan yang membalas perbuatan mereka," kata salah seorang putra Nawawi, Abdul Ma'i, seraya berdoa.
Desakan pulang terus menggayuti pikiran Nawawi saat ini. Tapi, bagaimanapun, ia harus memikirkan keselamatan keluarganya. Dan baginya, tinggal di pengungsian yang dirasa lebih nyaman itu, tetap saja membuatnya tak enak karena membebani polisi di sana.
Kini, hari-hari di pengungsian itu dilewatinya bersama ketujuh anaknya. Tak terlihat gairah terpancar pada diri Nawawi. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk menghisap lintingan Rokok Grendel. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tawaran Bupati Pasuruan untuk bertransmigrasi pun ditolaknya. "Mereka telah menghancurkan masa depan keluarga dan anak-anak saya" ujarnya perlahan. Agaknya, cobaan hidup yang dialami Nawawi dan keluarganya bagaikan sebuah kutukan.
Laporan Mohamad Subroto dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 961207-017/Hal. 86 Rubrik Romantika
Comments