Menyoal Pasal Ceu Lin
Vonis kasus ekstasi masih sedikit. Nasib perkara mereka yang terjaring operasinya pun tak jelas. Karena lubang hukum?
BEGITU hakim mengetuk palu, Oei Cong Hwy, 45 tahun, menangis histeris. Rupanya, Oei, yang selalu duduk tertunduk dan menutupi muka dengan kedua tangannya bila dibidik kamera pers, tak menyangka bakal divonis cukup berat. Pengadilan Negeri Semarang, Rabu dua pekan lalu, menghukum Oei dengan 2 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp 7 juta.
Majelis hakim yang diketuai Enteng Nafarin menganggap Oei terbukti mengedarkan 48 butir ekstasi, yang juga disebut pil setan, ceu iin, ineks, gobier, atau xtc. Oei ditangkap pada Maret lalu di Diskotek Venus, Semarang. Ia menjual ekstasi jenis pink seharga Rp 55 ribu dan jenis elektrik Rp 45 ribu sebutir.
Vonis Oei lebih tinggi dibandingkan hukuman Pedro Del Piero, 28 tahun. Pengadilan Negeri Bandung, dua hari sebelum vonis Oei, mengganjar Pedro dengan 10 bulan penjara. Menurut Ketua Majelis Hakim Nyonya Siti Elmina Lubis, Pedro terbukti mengedarkan 16 butir xtc. Pedro bermaksud menjual ekstasi seharga Rp 45 ribu sebutir di Diskotek Studio East, Bandung, pada 23 Juni lalu. Tapi, ia keburu diringkus petugas.
Baik Oei maupun Pedro dijaring dengan Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992 dan Pasal 204 KUHP (mengedarkan barang berbahaya untuk umum). Jaksa juga melengkapi dakwaan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Tahun 1993 dan 1996. Dengan perangkat hukum itu, Oei dan Pedro bisa diancam hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Toh, penggunaan KUHP dan Undang-Undang Kesehatan dianggap tidak tepat oleh sebagian kalangan peradilan. Dalil "belum adanya aturan hukum untuk masalah ekstasi" itu juga dilontarkan tim pembela terdakwa Randy di Pengadilan Negeri Surabaya.
Randy alias Goei Siauw Ming, 33 tahun, dan Jack alias Jaja P. Bawondesz, 23 tahun, ditangkap di Hotel Satelit, Surabaya, pada April lalu. Keduanya disangka mengedarkan 109 pil ekstasi.
Menurut jaksa, sesuai dengan KUHP, ekstasi disebut sebagai barang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan. Dan, berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, bahan tripping itu dikategorikan termasuk obat keras. Tapi, "Ekstasi tidak bisa dianalogikan sebagai obat keras," kata tim penasihat hukum tadi.
Entahlah, diterima atau tidak pendapat para pengacara Surabaya itu oleh pengadilan. Yang jelas, beberapa kalangan hukum membenarkan bahwa perdebatan kategori ekstasi termasuk obat atau bukan termasuk salah satu kendala penegakan hukum untuk kasus si ineks itu.
Ganjalan lainnya, baik KUHP maupun Undang-Undang Kesehatan cuma bisa ditimpakan kepada pengedar ekstasi. Itu pun baru 2 vonis tadi yang terkabarkan. Tak mengherankan bila sampai kini belum terdengar adanya pengadilan terhadap pemakai atau penggunanya.
Padahal, tak terhitung lagi banyaknya orang yang terkena berbagai operasi ekstasi. Mereka digerebek di tempat-tempat hiburan, entah di Jakarta ataupun di daerah lain. Sempat pula mencuat protes lantaran razia itu dianggap mengesampingkan hak pribadi.
Perkara bos Diskotek Hailai Ancol, Hendro Sumampouw, 38 tahun, adalah contohnya. Adik pengusaha beken Robby Sumampouw itu hanya dijerat Undang-Undang Antinarkotika Tahun 1976. Ia ditangkap polisi pada 24 Juli lalu karena membawa dua linting ganja kering dan 7,5 butir ekstasi. Namun, tak satu pun pasal hukum untuk soal ekstasinya ada dalam dakwaan jaksa.
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, perangkat hukum ekstasi memang masih lemah. Permenkes Tahun 1993 dan 1996, misalnya, ternyata mencampuradukkan delik formal dan delik materiil. "Dari segi doktrin hukum, itu tidak dibenarkan," kata Romli.
Lantas, digunakannya pemidanaan Undang-Undang Kesehatan, yang masih menganut ancaman maksimum umum dan minimum umum (sehari penjara). Seharusnya, sambung Romli, digunakan ancaman minimum khusus, seperti pasal pemerkosaan dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP, yang mencantumkan hukuman terendah 3 tahun penjara.
Karena itu pula, banyak pihak berharap agar DPR segera mengegolkan RUU psikotropika menjadi undang-undang. RUU itu mengancam 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta bagi pembawa atau penyimpan ekstasi. Sementara itu, pengguna, pengedar, produser, dan pengimpornya bisa dihukum 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Dengan undang-undang baru itu diharapkan peredaran ekstasi, yang semakin menjadi-jadi, bisa teredam. Tahun ini saja, sampai Juli, polisi sudah menyita hampir 155 ribu butir. Itu belum termasuk 30 ribu ekstasi dari kasus Zarima, yang kabur. Herannya, semakin diberantas, harganya pun semakin murah. Seolah-olah, peredaran ekstasi di pasaran bukannya menipis.
Laporan Koresponden Bandung dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 960907-004/Hal. 32 Rubrik Hukum
BEGITU hakim mengetuk palu, Oei Cong Hwy, 45 tahun, menangis histeris. Rupanya, Oei, yang selalu duduk tertunduk dan menutupi muka dengan kedua tangannya bila dibidik kamera pers, tak menyangka bakal divonis cukup berat. Pengadilan Negeri Semarang, Rabu dua pekan lalu, menghukum Oei dengan 2 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp 7 juta.
Majelis hakim yang diketuai Enteng Nafarin menganggap Oei terbukti mengedarkan 48 butir ekstasi, yang juga disebut pil setan, ceu iin, ineks, gobier, atau xtc. Oei ditangkap pada Maret lalu di Diskotek Venus, Semarang. Ia menjual ekstasi jenis pink seharga Rp 55 ribu dan jenis elektrik Rp 45 ribu sebutir.
Vonis Oei lebih tinggi dibandingkan hukuman Pedro Del Piero, 28 tahun. Pengadilan Negeri Bandung, dua hari sebelum vonis Oei, mengganjar Pedro dengan 10 bulan penjara. Menurut Ketua Majelis Hakim Nyonya Siti Elmina Lubis, Pedro terbukti mengedarkan 16 butir xtc. Pedro bermaksud menjual ekstasi seharga Rp 45 ribu sebutir di Diskotek Studio East, Bandung, pada 23 Juni lalu. Tapi, ia keburu diringkus petugas.
Baik Oei maupun Pedro dijaring dengan Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992 dan Pasal 204 KUHP (mengedarkan barang berbahaya untuk umum). Jaksa juga melengkapi dakwaan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Tahun 1993 dan 1996. Dengan perangkat hukum itu, Oei dan Pedro bisa diancam hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Toh, penggunaan KUHP dan Undang-Undang Kesehatan dianggap tidak tepat oleh sebagian kalangan peradilan. Dalil "belum adanya aturan hukum untuk masalah ekstasi" itu juga dilontarkan tim pembela terdakwa Randy di Pengadilan Negeri Surabaya.
Randy alias Goei Siauw Ming, 33 tahun, dan Jack alias Jaja P. Bawondesz, 23 tahun, ditangkap di Hotel Satelit, Surabaya, pada April lalu. Keduanya disangka mengedarkan 109 pil ekstasi.
Menurut jaksa, sesuai dengan KUHP, ekstasi disebut sebagai barang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan. Dan, berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, bahan tripping itu dikategorikan termasuk obat keras. Tapi, "Ekstasi tidak bisa dianalogikan sebagai obat keras," kata tim penasihat hukum tadi.
Entahlah, diterima atau tidak pendapat para pengacara Surabaya itu oleh pengadilan. Yang jelas, beberapa kalangan hukum membenarkan bahwa perdebatan kategori ekstasi termasuk obat atau bukan termasuk salah satu kendala penegakan hukum untuk kasus si ineks itu.
Ganjalan lainnya, baik KUHP maupun Undang-Undang Kesehatan cuma bisa ditimpakan kepada pengedar ekstasi. Itu pun baru 2 vonis tadi yang terkabarkan. Tak mengherankan bila sampai kini belum terdengar adanya pengadilan terhadap pemakai atau penggunanya.
Padahal, tak terhitung lagi banyaknya orang yang terkena berbagai operasi ekstasi. Mereka digerebek di tempat-tempat hiburan, entah di Jakarta ataupun di daerah lain. Sempat pula mencuat protes lantaran razia itu dianggap mengesampingkan hak pribadi.
Perkara bos Diskotek Hailai Ancol, Hendro Sumampouw, 38 tahun, adalah contohnya. Adik pengusaha beken Robby Sumampouw itu hanya dijerat Undang-Undang Antinarkotika Tahun 1976. Ia ditangkap polisi pada 24 Juli lalu karena membawa dua linting ganja kering dan 7,5 butir ekstasi. Namun, tak satu pun pasal hukum untuk soal ekstasinya ada dalam dakwaan jaksa.
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, perangkat hukum ekstasi memang masih lemah. Permenkes Tahun 1993 dan 1996, misalnya, ternyata mencampuradukkan delik formal dan delik materiil. "Dari segi doktrin hukum, itu tidak dibenarkan," kata Romli.
Lantas, digunakannya pemidanaan Undang-Undang Kesehatan, yang masih menganut ancaman maksimum umum dan minimum umum (sehari penjara). Seharusnya, sambung Romli, digunakan ancaman minimum khusus, seperti pasal pemerkosaan dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP, yang mencantumkan hukuman terendah 3 tahun penjara.
Karena itu pula, banyak pihak berharap agar DPR segera mengegolkan RUU psikotropika menjadi undang-undang. RUU itu mengancam 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta bagi pembawa atau penyimpan ekstasi. Sementara itu, pengguna, pengedar, produser, dan pengimpornya bisa dihukum 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Dengan undang-undang baru itu diharapkan peredaran ekstasi, yang semakin menjadi-jadi, bisa teredam. Tahun ini saja, sampai Juli, polisi sudah menyita hampir 155 ribu butir. Itu belum termasuk 30 ribu ekstasi dari kasus Zarima, yang kabur. Herannya, semakin diberantas, harganya pun semakin murah. Seolah-olah, peredaran ekstasi di pasaran bukannya menipis.
Laporan Koresponden Bandung dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 960907-004/Hal. 32 Rubrik Hukum
Comments