Badai Sakal dari Pengadilan
HEBOH suap dan kolusi, yang mengharu-hirukan dunia peradilan, belum lagi pupus. Tiba-tiba, muncul kasus penilapan dana sebesar Rp 1 miliar di Pengadilan Negeri Surabaya. Uang itu adalah sebagian dari dana Rp 3 miliar yang merupakan uang konsinyasi (titipan) ganti rugi, panjar biaya perkara, dan pelelangan.
Kabar itu tentu saja memprihatinkan. Sebab, itulah pertama kalinya uang kas lembaga peradilan dilipat, dengan jumlah yang mendebarkan. Tak mengherankan bila hukum dan keadilan bukan hanya berkesan sulit dinanti, tapi wujud yang diharap, uang itu, tampaknya juga rawan penggelapan.
Sejatinya, menguapnya dana pengadilan itu sudah diketahui pada April lalu. Waktu itu, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Monang Siringo Ringo akan menutup pembukuan tahun yang telah berjalan. Sebagaimana biasanya, dana Pengadilan Negeri Surabaya didepositokan di BRI. Setiap bulan, datang laporan saldo dana dari BRI. Pengadilan juga mempunyai pembukuan atas dana tersebut. Untuk keperluan operasional disediahan kas kecil berisi uang tunai Rp 5 juta.
Ternyata, ada perbedaan angka antara saldo di BRI dan pembukuan kas pengadilan. Menurut saldo bank, dananya tinggal Rp 2 miliar. Tapi, dalam pembukuan, dana pengadilan tertulis Rp 3 miliar. Lo, ke mana selisih Rp 1 miliarnya?
Tak pelak lagi, kejanggalan angka itu pun langsung diarahkan ke alamat Kepala Panitera, Mariandus Tehussalawally. Sebab, tugas bendahara pengadilan memang diemban Tehussalawany, yang panggilan akrabnya adalah Neco. Ia baru pada 3 September lalu dinas di situ, setelah dimutasikan dari Pengadilan Negeri Ujungpandang.
Tak dinyana pula, Neco mengaku menggunakan uang yang bolong pembukuannya itu, untuk kepetingan pribadi. Kepada Monang Siringo Ringo, ketika itu. Neco lantas membuat surat pernyataan. Isinya, ia bersedia mengembalikan uang dimaksud dalam waktu sebulan. Soalnya, dana itu masih disimpan pada suatu bank, atas namanya.
Namun, sampai tiga bulan kemudian, rupanya janji Neco di bibir belaka. Walhasil, Monang kemudian melaporkan masalah tersebut ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Laporan itu diteruskan ke Mahkamah Agung (MA) dan Departemen Kehakiman.
Akibatnya, tim dari MA, Departemen Kehakiman, juga kejaksaan turun mengusut. Neco dan beberapa personel pengadilan diperiksa secara maraton, kadang di Kantor Kehakiman Jawa Timur, kadang pula di hotel. Neco sendiri dibebas-tugaskan.
Hebatnya, kepada pemeriksa, Neco hanya mengaku menggunakan Rp 400 juta dari dana tadi. Dana itu, katanya, berasal dari uang pendaftaran perkara. Itu pun sudah dikembalikannya sebesar Rp 150 juta. Adapun uang Rp 600 juta, “Digunakan untuk kepentingan dinas menjamu tamu-tamu pejabat pusat yang berkunjung ke Pengadilan Negeri Surabaya,” ujarnya.
Akan tetapi, “nyanyian” Neco soal uang Rp 600 juta untuk pejabat pusat itu ditepis Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Soekirno. “Orang, kalau sudah dalam posisi begitu, ya, bisa-bisanya nandak-nandak (mencari-cari cantolan,” kata Soekirno).
Benar-tidaknya cerita Neco, yang pasti, Selasa lalu, ia digiring ke Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng, Surabaya. “Bukti-huktinya sudah lengkap, mengarah ke soal adanya duyaan korupsi Rp 1 miliar” kata Menteri Kehakinan Oetojo Oesman.
Oh, ya, sebelum ditahan, kata Irjen Departemen Kehakiman Ridwan Sani, Neco sempat mengembalikan lagi dana itu sebesar Rp 275 juta. Dengan pengembalian sebelumnya, berarti Neco sudah melunasi sebanyak Rp 425 juta. Kalau hal tersebut benar, itu juga berarti “tanggung jawab” Neco tinggal Rp 575 juta dari seluruh dana yang dituding telah di selewengkannya.
Karena itu boleh jadi, Neco bersikeras menganggap tuduhan pidana korupsi terhadap dirinya itu berlebihan. Apalagi, ia bersikukuh cuma harus bertanggung jawab terhadap dana yang Rp 400 juta. “Saya sendiri heran, kok persoalannya menjadi begini. Padahal, sesuai kesepakatan dengan Pak Monang, masalah itu akan diselesaikan secara intern. Saya yakin, ada yang ingin menjerumuskan saya,” tutur Neco kepada wartawan.
Begitupun banyak pihak yang menganggap Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Monang Siringo Ringo tak bisa melepaskn tanggujng jawab aatas kasus yang pertama kali itu. “Kendati kepala panitera itu pemegang kas, penanggung jawabnya, ya, tetap ketua pengadilan, selaku countable ambtenaar” kata V.B. da Costa dari F-PDI.
Rekannya, Handjojo Putro, juga mengutarakan pendapat senada. “Heran, kenapa kepala panitera merangkap tugas sebagai bendahara? Di kantor mana pun, tugas sekretaris atau panitera terpisah dengan bendahara,” kata Handjojo.
Namun, Hakim Monang tak merasa terlibat penyalahgunaan dana pengadilan itu. “Sesuai prosedur, pencairan dana itu cukup dilakukan kepala panitera. Tak perlu persetujuan dari saya,” ucapnya. Sungguhpun begitu, secara moral, ia mengaku telah lalai karena tak cermat memeriksa laporan bulanan keuangan pengadilan.
Sebenarnya, mekanisme begitu juga dilakukan di 300 pengadilan negeri di Indonesia, kendati arus tanggung jawab seperti itu agak rawan. Padahal, sejak 1982, Departemen Kehakiman selalu menyarankan agar otoritas keuangan hanya ada di tangan ketua pengadilan.
Dengan begitu, “Panitera tak bisa mercairkan cek bila tak ada tanda tangan ketua pengadilan,” kata Direktur Peradilan Umum Departemen Kehakiman, Nyonya Lies Soegondo. Namun, entah kenapa, pedoman itu tak dilakoni pengadilan.
Persoalannya sekarang, bagaimana tanggung jawah ganti rugi atas kebobolan itu. Sebab, Neco cuma mau mengganti yang Rp 400 juta. Kalaupun ia dituntut harus mengganti Rp 1 miliar, melalui tuntutan korupsinya, harta kekayaannya pun tak sampai segitu.
Setelah pindah tugas ke Surabaya, Neco tinggal sendiri di Kota Buaya. Keluarganya masih di Ujungpandang. Sesekali, pegawai negeri golongan IV-A itu tidur di rumah dinas di kawasan Kendangsari. Tapi, kabarnya, alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ujungpandang, tahun 1977, itu lebih sering menginap di hotel.
Abdul Manan dan M. Subroto
D&R, Edisi 960831-003/Hal. 24 Rubrik Hukum
Comments